Saya sengaja memilih menggunakan kata ‘menjenguk’ untuk judul tulisan ini karena Pulau Sempu
memang sedang sakit. Ah yang benar dong, masa pulau bisa sakit? Ya,
Pulau Sempu sakit karena ulah kita semua yang beramai-ramai
menaklukkannya demi memproklamasikan pada dunia bahwa kita sudah pernah
dari sana. Pada awalnya, Pulau Sempu itu mempunyai status Cagar Alam
yang berarti tidak diizinkan memasukinya kecuali untuk keperluan
penelitian. Entah sejak kapan dan entah siapa yang memulai, status itu
kini sepertinya sudah berubah. Wisatawan dari berbagai daerah bahkan
mancanegara dengan mudahnya mendapatkan izin masuk ke pulau ini.
Celakanya lagi, Pemda Malang dan BKSDA Jatim selaku pengelola Pulau
Sempu seolah membiarkan keramaian yang setiap akhir pekan atau hari
libur seolah berlomba-lomba menyeberang demi mencapai Segara Anakan.
Pantai Sendang Biru
Pulau Sempu terletak di selatan Kota
Malang dengan jarak tempuh sekitar 1 s.d. 2 jam menggunakan sepeda
motor. Pantai Sendang Biru merupakan tempat transit sebelum pengunjung
menyeberang ke pulau yang letaknya hanya seratusan meter. Penduduk
setempat menyediakan perahu-perahu motor sewaan yang dapat digunakan
sebagai transportasi ke pintu masuk Pulau Sempu. Harga sewa perahu ini
bervariasi dari Rp 100K hingga Rp 200K, tergantung kelihaian kita
menawar.
Para pengunjung diwajibkan melapor dan
mendaftarkan diri beserta timnya di pos jaga BKSDA Sendang Biru sebelum
menyeberang ke Pulau Sempu. BKSDA menarik uang restribusi dari setiap
pengunjung yang hendak ke Pulau Sempu. Anehnya uang yang harus
dibayarkan tidak selalu sama, tergantung siapa yang melakukan
pendaftaran. Setidaknya begitulah yang diceritakan oleh pemilik kapal
yang kami sewa. Kelompok kami yang terdiri dari 8 orang hanya membayar
Rp 30K atas rekomendasi dari sang pengemudi.
Di pantai ini juga terdapat pelabuhan
kecil yang digunakan para nelayan yang melaut mencari ikan. Mereka
berangkat di malam hari dan pulang keesokan paginya. Ikan-ikan yang
mereka dapatkan dijual di TPI yang terdapat di dekat
pelabuhan. Penggemar makanan laut pasti tidak akan melewatkan kesempatan
untuk mendapatkan ikan-ikan segar di tempat ini. Hasil tangkapan para
nelayan cukup beragam, namun sepertinya Ikan Tongkol dan Tuna
mendominasi isi perahu yang pulang melaut.
Saya bersama teman-teman tiba di Pantai
Sendang Biru malam hari sehingga berkesempatan menyaksikan nelayan
berangkat melaut dan kembali subuh esok harinya. Kami juga sempat
membeli dua ekor Ikan Tuna sebelum mendapatkan bonus tiga ekor Ikan
Tongkol dari perahu nelayan yang baru saja datang dan berpapasan dengan
perahu yang kami gunakan untuk menyeberang.
Pulau Sempu
Penyeberangan hanya memakan waktu
sekitar 15 menit. Perahu kemudian berlabuh di salah satu sisi pulau.
Kalau air laut sedang surut, kemungkinan besar kita harus
berbasah-basahan karena perahu kandas sebelum mencapai pantai. Saat
pertama kali melompat ke pulau ini saja, saya sudah dibuat
terkagum-kagum dengan keindahan alamnya. Sayangnya sampah-sampah
ditinggalkan di sebuah lubang yang sepertinya memang dibuat sebagai TPS.
Setelah berputar-putar sebentar sambil
menunggu teman-teman yang lain menurunkan barang dari perahu, saya
berhasil mengabadikan beberapa foto di lokasi ini.
Kelompok kami kemudian disusul dua
rombongan yang cukup besar yang berlabuh beberapa saat kemudian.
Rombongan pertama adalah para pemancing yang berasal dari Malang, mereka
tidak berencana menginap di Segara Anakan. Sedangkan rombongan
berikutnya yang memiliki peserta lebih banyak tampaknya akan menginap
karena membawa peralatan yang cukup lengkap.
Segara Anakan
Perjalanan dari lokasi pendaratan perahu
menuju Segara Anakan membutuhkan waktu hampir dua jam. Medan yang harus
dilalui juga cukup berat. Jika sedang musim hujan, jalanan pasti akan
sangat licin dan kaki bisa terperosok hingga puluhan centimeter ke dalam
tanah. Sepanjang perjalanan kita akan diuji dengan medan yang naik,
turun, naik, turun, dan naik lagi. Di beberapa lokasi kami terpaksa
menunduk bahkan merangkak karena jalan yang terhalang pohon besar yang
tumbang. Saya yang membawa tas carrier 80 L berisi tenda, logistik, dan
perlengkapan lainnya harus memanjat karena tidak mungkin lewat dari
bawah pohon tumbang tersebut.
Dengan keringat bercucuran di kening,
hampir tengah hari akhirnya kami tiba juga di Segara Anakan. Air laut
yang bening berwarna biru kehijau-hijauan berhasil menggoda saya untuk
langsung berendam begitu meletakkan tas di pasir. Sebenarnya saya
bukanlah orang yang terlalu suka mandi ketika sedang berada di alam
terbuka, namun rasa lelah dan keringat yang membasahi tubuh disertai
kerongkongan yang kering menjadi kombinasi yang sangat pas untuk
mendorong saya menceburkan diri dalam segarnya air laut.
Kalau diperhatikan lebih seksama,
sebenarnya Segara Anakan ini adalah air laut yang terperangkap di
daratan. Air masuk melewati celah-celah di tebing curam yang melindungi
segara dari lautan lepas sehingga akhirnya membentuk danau kecil.
Pasirnya berwarna putih cenderung pink dan sangat halus. Warna-warna
pink ini kemungkinan besar berasal dari hewan-hewan laut atau karang
yang dipecah oleh ombak.
Pantai yang datar inilah yang kemudian
menjadi lokasi tenda-tenda para pengunjung berdiri. Ketika baru saja
sampai, suasana masih cukup sepi. Ada setidaknya dua kelompok lain yang
baru saja mendirikan tenda, sedangkan beberapa lainnya sedang
bersiap-siap pulang. Di beberapa titik, saya melihat sampah-sampah
plastik berserakan. Kebanyakan bekas botol air minum dan bungkus mi
instan. Benda-benda ini menjadi daya tarik kera-kera untuk turun dari
pohon dan memunguti sisa makanan dan sampah yang ditinggalkan
pengunjung. Menurut saya, kondisi ini yang cukup memprihatinkan.
Sebelum menyeberang, saya sempat
bertanya ke beberapa warga yang ada di Sendang Biru tentang keadaan
Segara Anakan yang kabarnya semakin kotor. Salah satunya sempat
bercerita saat ini sudah bersih karena baru saja dibersihkan oleh BKSDA
selaku pengelola dibantu warga yang sering menyewakan perahunya untuk
penyeberangan. Beliau juga sempat mengingatkan untuk membawa kembali
sampah bekas logistik yang kami punya.
Saat sore menjelang di akhir pekan itu
(18/05/2013), tenda yang berdiri di Segara Anakan semakin ramai. Hampir
tidak ada lagi tempat tersisa untuk mendirikan tenda. Beberapa kelompok
terpaksa mendirikan tenda di tebing-tebing di atas pantai. Malamnya
suasana semakin ramai ketika serombongan turis mancanegara datang dengan
berbagai perlengkapan yang sangat lengkap. Seperti biasa, mereka
langsung menjadi pusat perhatian di antara pengunjung lainnya. Apalagi
cewe-cewe di rombongan tersebut langsung berganti pakaian dengan bikini two piece yang sangat seksi.
Perjalanan Pulang
Minggu pagi setelah menikmati
pemandangan matahari terbit, kami langsung berkemas untuk pulang. Tak
lupa kami membereskan semua sampah bekas logistik yang kami punya untuk
dibawa pulang ke Sendang Biru. Perjalanan pulang menjadi lebih berat
karena hujan yang cukup deras turun di malam hari sebelumnya. Jalanan
menjadi sangat licin dan berlumpur. Saya sempat tergelincir saat salah
memijakkan kaki di akar pohon yang berlumpur. Setelah menempuh
perjalanan 1,5 jam, kami tiba di titik penjemputan sekitar pukul 9.00
WIB. Perjalanan dilanjutkan dengan perahu yang datang beberapa menit di
belakang kami. Sesampainya di Pantai Sendang Biru, hal pertama yang saya
lakukan adalah membersihkan diri dengan mandi air tawar kemudian
dilanjutkan sarapan untuk mengisi perut sebelum mengarungi perjalanan
selama hampir 6 jam ke Pulau Madura yang panas

NB:
Saya tidak menyarankan pembaca tulisan
ini untuk mengunjungi Pulau Sempu. Saya juga sangat berharap pemerintah
segera mempertegas status pulau itu sebagai cagar alam. Kalau memang mau
diturunkan statusnya sebagai taman nasional, tetap harus ada aturan
yang jelas dan pengawasan terhadap pengunjung. Apabila dipertahankan
sebagai cagar alam, hentikan semua izin kunjungan yang tidak berkaitan
dengan riset ke pulau itu. Hal ini tentunya demi kelestarian alam di
Pulau Sempu.
No comments:
Post a Comment