Hampir tiga jam, disuguhi deretan perkebunan kelapa sawit, jejeran rumah-rumah penduduk, dan hilir mudik kendaraan, Mongabay-Indonesia akhirnya tiba di Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, siang itu dari Pekanbaru bertarikh 19 Januari 2014.
Pohon kelapa gagah berdiri tegak di antara rumah-rumah warga. Rumput-rumput hijau bertebaran di samping dan di halaman rumah warga atau di samping kiri-kana jalan bersemen lebar dua meter.
Seekor kerbau berwarna coklat memakan rumput tanpa peduli kendaraan roda dua hilir mudik. Empat meter dari si kerbau, di balik pohon kelapa, rimbunan pohon bambu, suara arus sungai Subayang terdengar.
Dengan lebar sekira 25 meter, di kiri kanan sungai Subayang berdiri tegak rimbunan pohon-pohon nan hijau.
Saat hendak menaiki perahu panjang terbuat dari kayu digerakkan mesin, warga sedang mandi di sungai, tanpa mempedulikan kehadiran kami, mereka asyik mengguyur air sungai Subayang.
Perahu melaju, meliuk-liuk mengikuti alira sungai Subayang. Bukit-bukit tertutup pohon-pohon hijau, terihat sepanjang perjalanan. Kian mendekat, hijaunya kian terang.
Dua menit berlalu, kami benar-benar dikelilingi pepohonan nan hijau berderet, berbaris di atas bukit-bukit. Tak ada lagi rumah warga kelihatan. Sesekali perahu-perahu hilir mudik melintas. Kala ombaknya terkena, perahu kami terasa oleng.
Perahu melambat, menghindar bebatuan. Tak jauh dari bebatuan besar itu, perahu berhenti di pinggiran, dekat batu besar berdiri tegak menyerupai dinding. Warga menyebutnya: Batu Dinding. Tak ada papan nama.
Suara air terjun terdengar, begitu mesin perahu dimatikan. Jalan tanah becek berwarna kecoklatan. Deretan tulisan terbuat dari kayu beratap seng tertulis: Selamat Datang di Areal Objek Wisata Batu Dinding. Papan nama itu dibuat oleh Kelompok Kerja Batu Dinding.
Belum sampai lima menit, menaiki bukit, perahu dan aliran sungai tak lagi kelihatan. Hanya pepohonan mengelilingi perjalanan dan suara air terjun. Suara air terjun, kian terdengar keras.
Hampir dua puluh menit, sekitar 1.143 langkah kecil berjalan menaiki dan menuruni bukit, tersembunyi dan dikelilingi pepohonan nan hijau.
Derasnya gumpalan air turun dari dinding berbatu menghantam genangan air di bawahnya, dan airnya mengalir turun ke bawah sambil menghantam bebatuan keras, berbunyi di tengah belantara hutan.
Satu jam menikmati air terjun sambil bersantap nasi bungkus, bebatuan, aliran air, dan orang-orang yang berenang dan tentu saja: hijaunya pepohonan mengelilingi air terjun.
Satu pemandangan mengusik mata, di samping pondokan itu: sampah plastik bekas makanan minuman berserakan di samping tempat sampat terbuat dari drum. Meski ada papan bertuliskan buanglah sampah pada tempatnya!
Kelompok Kerja Batu Dinding bersama rombongan WWF Riau memungut sampah, memasukkan dalam kantong goni. Sejenak, air terjun batu dinding bersih dari sampah.
Membersihkan sampah, salah satu kegiatan Kelompok Kerja Batu Dinding bentukan dari masyarakat Desa Tanjung Belit. “Selain memungut sampah, membuat trek jalan agar bisa dilalui pengunjung, membuat plang nama sebagai petunjuk dan pondokan untuk pengunjung beristirahat,” kata Mahwel, 20 tahun, Ketua Kelompok Kerja Batu Dinding, asli dari Desa Batu Dinding.
Ekowisata Air Terjun Batu Dinding, sepenuhnya dikelola oleh masyarakat Desa Tanjung Belit.
Menurut Mahwel, setiap minggu, hampir dua juta rupiah pemasukan untuk Tanjung Belit. “Belum lagi, kalau hari-hari tanggal merah dan libur panjang. Lumayan ramailah,” katanya.
Melihat pengunjung kian ramai dan objek wisata batu dinding terjaga, masyarakat Desa Batu Dinding melalui pemerintah desa membentuk Peraturan Desa pada November 2013. “Isinya dilarang menebang pohon, merusak fasilitas dan berbuat maksiat saat berada di objek wisata dan hutan ini tak boleh dimiliki oleh seseorang,” kata Zulfihas sekretaris Desa Tanjung Belit. ”Perdesa ini juga membantu kas desa.”
Salah satunya mereka tak boleh merusak hutan, karena adat mereka meralang. Desa Tanjung Belit bagian dari wilayah adat kekalifahan Kuntu, yaitu kalifah ujung bukit.
Sebelum ramai pengunjung dan kelompok kerja terbentuk, awalnya Mahwel mengajak pemuda di kampungnya sekitar 15 orang terdiri atas perempuan dan lelaki. Mereka membuat jembatan manual agar bisa dilalui pengunjung dan memungut sampah.
“Tujuan saya mengembangkan eko wisata tanpa merusak alam,” kata Mahwel, saat mengajak kawan-kawannya, ia merogoh kocek sendiri untuk merawat alam. Agar terorganisir, terbentuklah Kelompok Kerja Batu Dinding pada 21 Februari 2013. Tugas mereka, menjaga dan merawat alam untuk ekowisata.”Harapan terbesar saya, ekowisata ini dikenal oleh dunia.”
Esoknya,kami kembali ke Pekanbaru meninggalkan Sungai Subayang, hutan alam bukit rimbang baling dan air terjun batu dinding nan di tengah hutan, sambil mengenang, warga menyebutnya sambal kacau, ikan ditumbuk lantas dicampur dengan cabe hijau dan bumbu lainnya lantas dikacau.
No comments:
Post a Comment