Catatan Si Bolang

Ilmu pengetahuan itu mahal, tp jika berbagi dengan gratis, sayang sekali bila tidak dimanfaatkan, bukan ?

Saturday, May 24, 2014

UNTUK PARA PENDAKI, PECINTA ALAM DAN PETUALANG

SALAM RIMBA....
Untuk orang-orang yang menghargai hidup dengan bertualang mempertaruhkan hidup

“Allah telah menjadikan bumi terhampar luas untukmu, agar kamu dengan bebas meniti jalan-jalan yang terbentang di bumi” (Al Quran Surat Nuh: 19-20)

“....Gunung-gunungpun Ia pancangkan, untuk kesenanganmu..........” (Al Quran Surat An Naazi’aat: 32)

“Kamilah yang menghamparkan bumi, dan kami pula yang menegakkan gunung-gunung, serta menumbuhkan segalanya dengan imbang” (Al Quran Surat Al Hijr: 19)

“Allah menjadikan sebagian ciptaanNya sebagai tempat bernaung untukmu, dan menjadikan gunung-gunung sebagai tempat berlindung....” (Al Quran surat An Nahl: 81)

“Dialah yang membentangkan bumi dan menciptakan gunung-gunung dan sungai-sungai disana. Dia menjadikan semua jenis buah-buahan, masing-masing berpasangan. Dia pulalah yang menutupkan malam pada siang. Sungguh, dalam semua itu terdapat ayat-ayat kebesaranNya bagi kaum yang mau berpikir” (Al Quran Surat ar Ra’ad: 3)

“Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi!”
(Petikan dari buku “La Tahzan” karya DR. Aidh Al-Qarni)

Di antara perkara yang dapat melapangkan dada dan meleyapkan awan kesedihan dan kesusahan adalah berjalan menjelajah negeri dan membaca “buku penciptaan” yang terbuka lebar ini untuk menyaksikan bagaimana pena-pena kekuasaan menuliskan tanda-tanda keindahan di atas lembaran-lembaran kehidupan. Betapa tidak, karena anda akan banyak menyaksikan taman, kebun, sawah dan bukit-bukit hijau yang indah mempesona.
Keluarlah dari rumah, lalu perhatikan apa yang ada di sekitar Anda, di depan mata anda, dan di belakang Anda! Dakilah gunung-gunung, jamalah tanah di lembah-lembah, panjatlah batang-batang pepohonan, reguklah air yang jernih, dan ciumkan hidungmu di atas bunga mawar! Pada saat-saat yang demikian itu, Anda akan menemukan jiwa Anda benar-benar merdeka dan bebas seperti burung yang berkicau melafalkan tasbih di angkasa kebahagiaan. Keluarlah dari rumah Anda, tutup kedua mata Anda dengan kain hitam, kemudian berjalanlah di bumi Allah yang sangat luas ini dengan senantiasa berdzikir dan bertasbih.

Marilah sekali-kali kita membaca Al-Qur’an di tepi-tepi sungai, di pinggiran hutan yang rimbun, di antara burung-burung yang sedang berkicau membaca untaian puisi cinta, atau di depan gemericik aliran air sungai yang sedang mengisahkan perjalanannya dari hulu ke hilir. Marilah sesekali kita berjalan menjelajah pelosok negeri untuk mencari ketenangan, bergembira, berpikir, dan sekaligus menghayati ciptaan Allah yang sangat luas ini.
(Dan, mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau”)
(Al Quran surat Ali Imran: 191)

Mendaki gunung pada awalnya merupakan sebuah kegiatan yang harus dilakukan oleh seseorang untuk sebuah keperluan tertentu, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.

Memasuki masa neo klasik, yakni pada masa penjajahan. Kegiatan mendaki gunung memiliki tujuan Tertentu. Seorang ahli geologi berkebangsaan Belanda bernama Clignet (1838) diketahui sebagai orang pertama yang mendaki gunung Semeru (Jawa Timur) dengan tujuan untuk penelitian struktur tanah dan kemudian dilanjutkan oleh ahli botani Junhuhn (1945) yang mendaki gunung Semeru untuk meneliti jenis-jenis tumbuhan berdasarkan ketinggian.

Pada masa yang sama, bangsa Indonesia mendaki gunung untuk keperluan taktik perang. Panglima Jendral Sudirman dan para prajuritnya mendaki gunung dan perbukitan di daerah jawa tengah untuk menjalankan taktik perang gerilya melawan Belanda, demikian pula Pahlawan Supriadi memimpin pasukan gerilya dengan menjelajahi kawasan gunung kelud di sekitar daerah Blitar-jawa timur.

Konon bangsa Belanda juga turut mendaki gunung Argopuro untuk membuat landasan pesawat terbang di lereng gunung Argopuro guna mengangkut hasil pengalengan daging rusa (sekarang Cikasur). Dari sini kita bisa melihat tujuan dari mendaki gunung menjadi semakin beragam.

Kemudian, kegiatan mendaki gunung sudah berubah menjadi kegiatan yang bertujuan untuk hobi atau kesenangan diri sendiri. Para pendaki gunung telah memiliki tujuan yang lebih beragam lagi, yakni ingin menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak-puncak gunung yang masih perawan. Mendaki gunung sudah berubah tujuannya, yakni untuk ‘kemasyuran’. Mengapa mereka gila akan puncak gunung?
Pada awalanya mencapai puncak gunung merupakan kepuasan pribadi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sama halnya dengan kenikmatan penulis ketika berhasil membius para pembacanya, atau kenikmatan seorang seniman ketika berhasil menyelesaikan karyanya dan kemudian diapresiasi oleh pengamat.

Coba kita bandingkan saat ini. Betapa banyaknya pendaki yang melakukan ekspedisi mendaki gunung, baik secara solo atau tim hanya untuk menggapai puncak atau mengoleksi puncak-puncak gunung ternama demi mencari popularitas atau menambah image pribadi.
Kenyataannya, ekspedisi-ekspedisi tersebut hanya seperti kegiatan yang sepintas lalu saja, setelah ekspedisi selesai, tak pernah lagi dibicarakan oleh orang lain, dibahas untuk ilmu pengetahuan, apalagi untuk dikenang.

Meskipun akhirnya para pendaki yang “haus gengsi”ini harus bersikap “Vandalis” agar orang lain mengenalnya dengan cara mencoretkan namanya diantara batu-batu, pohon-pohon atau papan peringatan, tetapi ternyata sebenarnya justru mereka sedang merusak namanya sendiri.
Jadi, kegiatan mendaki gunung kini memiliki tujuan yang lebih beragam lagi, yakni prestise atau image. Dimana para pendaki berlomba untuk mencapai atau mengoleksi puncak gunung demi keperluan gengsi atau untuk mengangkat prestasi dan menjadi lebih dikenal.
Hal itu menjadi sangat ironis sekali dengan nama mereka “PECINTA ALAM” yang notabene sebagai kaum yang mencintai alam tetapi pada kenyataannya tidak ada sama sekali kegiatan untuk melestarikan alam, yang nampak hanyalah sejumlah ekspedisi-ekspedisi sekedar mencapai puncak gunung saja bukan ekspedisi untuk keperluan penelitian, bersih-bersih gunung dari sampah atau ekspedisi penghijauan hutan dsb. Dan yang lebih menyedihkan lagi, banyak yang tidak mengetahui atau bahkan melupakan nilai-nilai berharga yang bisa diambil dari kegiatan mendaki gunung.

Untuk itu kita perlu mengkaji kembali tentang hakikat mendaki gunung yang selama ini telah diabaikan, mengapa kita mendaki gunung, untuk apa serta bagaimana mendaki gunung dan menjadi Pecinta Alam yang lebih baik ? Karena itu kita perlu kembali mempertanyakan tujuan kita mendaki gunung, salah satunya yakni dengan mempelajari filosofi mendaki gunungใ

PENDAKI GUNUNG, PECINTA ALAM DAN PETUALANG.......,

sekilas memang istilah tersebut hampir sama namun sesungguhnya sangat berbeda. Tentang Pendaki dan Pecinta alam sudah dibahas sebelumnya, tetapi bagaimana dengan petualang?
Petualang, sebenarnya sangat identik dengan seseorang yang memiliki keberanian dan rasa ingin tahu yang begitu besar dan melebihi orang-orang pada umumnya. Seorang petualang bisa dibilang sebagai penjelajah yang siap bertaruh dengan apapun yang Ia miliki sampai dengan nyawanya sekalipun. Seorang petualang alam sejati tidak akan pernah berhenti untuk tetap menjelajahi alam yang belum pernah Ia jejaki.
Seorang petualang biasanya selalu menjadi pioner diantara kaumnya meskipun sesungguhnya Ia tidak pernah berniat untuk menjadi orang pertama atau mencari sensasi dan popularitas , karena yang mereka cari adalah terjawabnya rasa ingin tahu yang begitu besar di dalam pikirannya. Oleh karena itu, seorang petualang hidupnya tak pernah “stagnan”, Pribadinya begitu dinamis, optimis dan memiliki semangat yang tak wajar. Mereka berpetualang untuk memenuhi kebutuhan dirinya, sebab rasa ingin tahunya yang terlampau besar akan menyiksanya jika terus-terusan dipendam. Namun karena keberanian dan semangatnya itulah yang justru dengan sendirinya akan membuatnya dikenal dan hidupnya abadi karena orang lain akan selalu membicarakan apa yang Ia temukan dalam setiap penjelajahannya.

Kita bisa mengambil contoh seorang “Amerigo Vespuci atau Colombus” yang gemar berpetualang. Sampai kini orang-orang akan tetap mengenangnya sebagai penemu benua Amerika. Padahal meskipun mereka tidak pernah mengadakan ekspedisi menyeberangi samudera atlantik, benua Amerika sebenarnya memang sudah ada. Namun karena mereka orang yang pertama kali berani menyeberangi samudera yang konon dipenuhi ular naga dan gurita raksasa, akhirnya mereka juga yang kini lebih dikenal.

Karena mereka bekerja dengan hati, maka sesungguhnya popularitas dengan sendirinya akan mengiringi. Lalu, lebih baik mana antara Pendaki gunung, Pecinta alam atau Petualang?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, adalah lebih mudah jika kita mengacu pada tujuan yang ingin dicapai. Mengapa? Sebab bagimanapun besarnya semangat atau keberanian seseorang, jika tujuannya tidak baik dan kurang bermanfaat maka dengan sendirinya sesungguhnya orang itu akan dipandang buruk.

Contoh:
- Seorang pendaki gunung atau pecinta alam berniat untuk mendaki gunung sampai puncak, dalam perjalanan Ia menemukan sampah dan kemudian ia ambil untuk dibawa sampai turun dan membuangnya di tempat sampah. Lain cerita, ada seseorang yang gemar sekali berpetualang dengan menjelajahi hutan. Sampai suatu saat Ia menemukan sumber mineral yang berharga, sehingga kemudian Ia segera menjual kepada pihak pengelola karena Ia tahu bahwa informasi yang Ia miliki pasti sangat mahal harganya. Akhirnya masuklah pengelola kedalam hutan dan melakukan penambangan besar-besaran tanpa memperhatikan kelestarian alam sekitar.

Adalagi contoh sebagai berikut:

- Sebuah kelompok Pecinta alam berniat mengadakan penghijauan di lahan hutan yang gundul dengan harapan nama kelompoknya akan dikenal atau mendapatkan penghargaan dari pihak-pihak terkait sehingga anggotanya akan semakin bertambah dan bisa lebih mudah untuk mencari dana guna mengadakan sejumlah ekspedisi pendakian gunung yang tujuannya tak lain hanya mengoleksi puncak sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan prestise organisasi.
– Ada seorang yang gemar sekali berpetualang, kali ini Ia ingin mengadakan ekspedisi mendaki gunung dengan membuka jalur baru sebab menurut keterangan masyarakat sekitar, ada aliran sungai yang cukup deras yang mengalir dari lereng gunung, tapi tidak satupun orang yang berani untuk mencari sumber air tersebut karena masuk kedalam wilayah hutan yang disakralkan. Untuk menjawab rasa penasaran itu, maka sang petualang ini membuka jalur baru dan berhasil menemukan air terjun dan beberapa sungai yang belum pernah terjamah oleh manusia. Akhirnya, jalur yang Ia lalui kini menjadi jalur pendakian baru yang cukup diminati karena selain pemandangannya yang menarik, juga mudah untuk mencari air. Kemudian sang petualang ini bekerja sama dengan sejumlah pecinta alam dan pemerintah setempat untuk menjadikan kawasan yang telah Ia ketemukan itu sebagai kawasan Taman nasional yang harus dilindungi demi menghindari pengrusakan atau penebangan hutan secara liar .

Dari beberapa contoh diatas, bisa kita lihat manakah yang jauh lebih baik. Dengan begitu kita akan mengerti bahwa kunci dari setiap melakukan sesuatu itu terletak pada tujuannya.
Kita tidak bisa menilai sesuatu hanya berdasarkan nama atau sebutan saja. Jadi lebih baik lagi jika Para pendaki gunung itu selain merangkap sebagai Pecinta alam juga merangkap sebagai petualang sejati yang selalu bekerja dengan hati, keberanian dan semangat yang tinggi tanpa tujuan apapun selain untuk perubahan menuju ke arah yang lebih baik dan bermanfaat untuk alam dan orang lain.

Jika kita mampu bekerja dengan ketulusan hati dan keberanian, sesungguhnya popularitas atau keabadian hidup itu akan hadir dengan sendirinya untuk mengiringi setiap langkah yang kau jejaki.
Jadi, lebih baik menjadi “pendaki gunung yang pecinta alam dan berjiwa petualang sejati”. Pasti jiwa dan jasadmu akan selalu dirindukan oleh alam dan orang-orang akan angkat topi kepadamu meskipun biasanya selalu terlambat.....***


Ada beberapa pertanyaan atau anggapan klasik yang mungkin sampai sekarang masih saja ditanyakan kepada para penggiat kegiatan alam bebas. Pertanyaan dan anggapan-anggapan klasik yang sudah pasti menjadi santapan basi bagi para pendaki gunung, pecinta alam ataupun para petualang alam bebas di seluruh dunia.
Pertanyaan-pertanyaan seperti:
*Untuk apa mendaki gunung?
*Apa manfaat dari mendaki gunung?
*Keuntungan apa yang bisa diambil dari mendaki gunung?
*Apa yang diberikan gunung kepadamu?
Atau anggapan-anggapan seperti:
* Mendaki gunung hanya perbuatan menyia-nyiakan waktu, tenaga dan uang saja.
* Para pendaki gunung itu adalah kaum”Hedonist” yang hanya memuja kesenangan-kesenangan secara berlebihan.
* Para pendaki gunung adalah orang-orang yang memiliki kelainan jiwa “Amor Fati” atau orang-orang yang mencintai kematian.
* Tewas saat mendaki gunung adalah mati konyol.
Coba kita renungkan kembali beberapa pertanyaan atau anggapan-anggapan klasik tersebut. Meskipun terkesan biasa atau mungkin tidak terlalu sulit untuk dijawab. Pada kenyataannya, jawaban-jawaban yang mungkin bisa membuat mulut kita sampai berbusa untuk menjelaskannya itu, ternyata tak pernah bisa dijawab atau dijelaskan oleh para pendaki, sehingga memuaskan atau minimal mampu membuat orang-orang yang bertanya menjadi terkesan dan mau mengerti.

Mengapa demikian?
Sekali lagi................Sesungguhnya hal-hal yang terlihat mudah justru adalah hal yang paling sulit. Seperti kata orang-orang bijak” Orang besar selalu mudah mengatasi masalah-masalah besar, tetapi selalu mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan masalah-masalah kecil”
Mungkin hampir semua pendaki gunung akan dengan mudah mengatasi rasa dingin, medan yang berat atau alam yang kejam karena telah terbiasa, tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan dan anggapan seperti itu dari orang-orang terdekatnya, belum tentu semua pendaki gunung mampu mengatasinya. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk diam atau menghindar daripada harus melakukan sesuatu yang menurutnya sia-sia saja, yakni “Menjelaskan kepada orang yang nggak mungkin bisa ngerti”. Ada juga yang langsung menjawab” Kalau ingin tahu ya coba aja sendiri!”.

Untuk menjawabnya memang dibutuhkan penjelasan yang bisa membuat orang-orang yang bertanya itu, menjadi turut berpikir kembali. Bukan justru membingungkannya atau membuatnya menjadi semakin tidak simpatik.

Pendaki gunung itu adalah orang-orang yang telah berguru pada alam. Guru yang langsung diciptakan oleh Tuhan untuk mengajarkan segala sesuatu kepada kita. Jadi bisa dibilang, orang-orang yang berguru pada alam itu sesungguhnya telah berguru pada sang maha guru. Maha guru yang lebih banyak memberi dan tak pernah meminta.

Karena ilmu tanpa batas itu sumbernya dari Tuhan, maka alam adalah sebagai medianya. Nabi Musa saja harus mendaki gunung Sinai ketika akan mendapatkan kitab Taurat. Nabi Muhammad juga harus mendaki bukit (jabal) dan tinggal di Gua Hiro yang tidak semua orang bisa dengan mudah menggapai tempat tersebut, sebelum akhirnya menerima wahyu yang pertama. Demikian pula para empu yang harus mendaki gunung untuk bertapa sampai pada akhirnya mendapatkan pencerahan berupa ilmu atau kesaktian.

Ada beberapa tingkatan “Tujuan mendaki gunung”, yakni sebagai berikut:
Tujuan mendaki gunung yang pertama, bisa dibilang tujuan yang paling rendah adalah ”Untuk hobi atau kesenangan pribadi semata”. Para pendaki gunung yang bertujuan untuk hobi ini, biasanya mendaki gunung untuk sekedar rekreasi, mengisi waktu luang atau melepas kepenatan. Orang-orang ini mendaki gunung untuk menikmati pemandangan alam, menghirup udara segar atau berkemah bersama teman-teman. Puncak gunung bukanlah harga mati, karena yang mereka kejar hanyalah kesenangan semata. Jadi meskipun mereka mendaki gunung tidak sampai ke puncak, sebenarnya mereka sudah cukup puas.

Tingkat kedua, tujuan mendaki gunung “Untuk prestise atau mendapatkan pengakuan”. Para pendaki yang mendaki gunung untuk tujuan seperti ini, yang mereka kejar hanya puncak. Jadi puncak gunung adalah harga mati bagi mereka. Bagaimanapun caranya, puncak harus bisa diraih, karena mereka beranggapan semakin banyak puncak gunung yang dikoleksi,maka prestise akan meningkat pula dan Ia-pun akan mendapat pengakuan dari orang lain (meskipun kenyataannya justru dianggap sombong dan kurang begitu dianggap oleh kebanyakan pendaki).
Tingkatan yang lebih tinggi yakni “ Untuk pengalaman dan Ilmu pengetahuan”. Orang-orang yang bertujuan seperti ini tidak hanya “pendaki gunung atau petualang saja”, tetapi bisa juga para ahli yang mendaki gunung untuk keperluan penelitian. Contoh: Seorang ahli “Vulkanologi” harus mendaki gunung untuk meneliti keadaan kawah sebuah gunung, Seorang pendaki yang mendaki gunung untuk keperluan membuat peta, seorang ahli yang mendaki gunung untuk keperluan meneliti jenis-jenis hewan dan tumbuhan di sebuah gunung, seorang petualang yang mendaki gunung untuk membuka jalur pendakian atau mencari lokasi sumber air dsb. Orang-orang yang memiliki tujuan ini, biasanya mengabaikan “Prestise”atau bahkan “nyawanya” sekalipun karena tujuan utama mereka adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam benak mereka. Demi ilmu pengetahuan dan pengalaman baru sehingga bermanfaat untuk dirinya dan juga orang lain.

Tingkatan selanjutnya yang lebih tinggi adalah “ Untuk pelestarian alam atau misi penyelamatan”. Biasanya banyak dari kalangan para “Pecinta alam” (Pecinta alam yang sebenarnya),Tim SAR atau polisi hutan. Mereka mendaki gunung untuk kelestarian alam, misalnya reboisasi di lereng gunung, ekspedisi bersih-bersih gunung dari coretan-coretan dan sampah gunung, perbaikan jalur pendakian untuk mencegah adanya jalur-jalur bayangan yang akan menyesatkan pendaki, Tim SAR yang mendaki gunung untuk mencari pendaki yang hilang, para polisi hutan yang mendaki gunung untuk menjaga hutan dari bahaya kebakaran atau memburu para penebang dan pemburu liar.

Tingkatan berikutnya yang lebih tinggi lagi adalah “Untuk mengasah pribadi dan menemukan hakekat diri”. Orang-orang yang memiliki tujuan seperti inilah orang yang mampu berguru pada alam. Mereka mendaki gunung untuk menyendiri dan merenung guna mendapatkan kedamaian dan pencerahan dari Tuhan dengan mengakrabi alam. Karena dengan begitu mereka akan tahu bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan alam apalagi Tuhan. Tujuan mendaki gunung seperti ini tidak hanya bisa dilakukan oleh para pertapa saja, yang biasanya mendaki gunung dan tinggal disana dalam waktu yang cukup lama sampai mendapat ilmu. Namun, sebenarnya para pendaki gunung biasa juga bisa memiliki tujuan seperti ini, kebanyakan para pendaki yang sudah cukup berpengalaman biasanya mendaki gunung untuk tujuan seperti ini. Mereka mendaki gunung bukan lagi untuk hobi atau mengejar prestise, tetapi mereka mendaki karena “panggilan jiwa” yang harus terus dipenuhi. Mereka seolah tak bisa hidup jauh dari gunung. Meskipun telah lama tidak mendaki gunung, namun keinginan untuk mendaki itu pasti akan tetap ada karena sudah menjadi kebutuhan. Mereka meyakini bahwa ada banyak pelajaran yang bisa diperoleh dari mendaki gunung. Dengan mengakrabi alam, maka dengan sendirinya alam akan mengajarkan banyak ilmu kepada kita.

Jadi, jelas bahwa gunung adalah media untuk menempa pribadi manusia sebelum akhirnya mendapatkan ilmu yang berasal dari Tuhan. Ilmu yang tak terbatas dan tidak bisa didapatkan hanya dari sekolah atau kuliah saja.


Ilmu apakah itu?

Ilmu tentang “hakikat diri dan Pemahaman akan arti kehidupan”.
Bagaimana cara memahaminya?

Salah satu caranya adalah dengan “Banyak mendaki gunung”.

Jadi pastikan terlebih dahulu tujuan kita sebenarnya sebelum kita mendaki gunung, sehingga kegiatan yang kita lakukan nanti tidak akan sia-sia, dan jika nanti seandainya kita terpaksa harus mati di gunung sekalipunpun, maka kita tidak akan mati konyol karena minimal kita sudah memiliki tujuan yang jelas.
Tak ada pendaki yang mati di gunung, mati sia-sia. Mereka hanya manusia biasa yang telah berani menghargai hidup dan memenuhi takdirnya saja.

‘Kematian’ ketika mendaki gunung adalah resiko yang harus dihadapi dengan keberanian.

MENDAKI GUNUNG DAPAT MENGASAH PRIBADI

Sebagaimana kata Ki Hajar Dewantara, bahwa Seni itu sebagai penghalus budi pekerti. Dan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia seni termasuk seni mendaki gunung, artinya mendaki gunung dengan menggunakan akal dan perasaan, dasarnya adalah kesenangan.
Mendaki gunung adalah kegiatan yang didasari karena kesenangan, dan apabila terus menerus ditekuni maka tidak lagi untuk kesenangan melainkan sudah menjadi kebutuhan.
Jika kebutuhan itu terus dipenuhi maka dengan sendirinya akan merubah sikap dan perilakunya. Seharusnya perubahan sikap dan perilaku tersebut adalah lebih baik bukan menjadi lebih buruk.

Melalui kegiatan mendaki gunung, kita akan mampu mengenali pribadi teman yang sebenarnya. Sebab, ketika kita mendaki gunung, beberapa karakter pribadi orang yang sebenarnya akan nampak karena situasi yang sedang dihadapi. Misalnya: Kelelahan, kedinginan, kehabisan bekal makanan atau air, terjebak badai, tersesat, mengalami musibah kecelakaan, ada teman yang sakit, atau bahkan karena gagal sampai ke puncak. Ada yang jujur/tidak jujur, ada yang setia kawan/ tidak setia kawan, ada yang egois/tidak egois, ada yang teliti/ceroboh, ada yang sombong/rendah diri, dll. Karena itu dengan kegiatan mendaki gunung, kita akan bisa lebih mengenal karakter pribadi seseorang yang sebenarnya.

Dengan mendaki gunung, paling tidak kita akan mampu mengetahui bahwa kita hanyalah seperti seekor semut yang merayap lamban di tengah luasnya hutan. Kita hanya mahluk biasa yang tak berdaya jika berada di alam bebas, tidur di tanah, minum air mentah, berlindung dari dinginnya udara, tak berdaya di tengah kabut atau tak berkutik jika tersesat dan kehabisan bekal. Itulah kita, manusia yang sebenarnya, tak berdaya di tengah alam, apalagi untuk melawannya. Lalu apalagi yang kita sombongkan, melawan alam saja tidak berdaya apalagi melawan kekuasaan sang pencipta alam. Demikianlah alam akan mengajarkan kepada kita ilmu tentang “ rendah diri dan tidak sombong”.

Jika ada seorang pendaki merasa sombong karena Ia telah merasa menaklukkan sebuah gunung atau ratusan gunung dengan mendaki sampai puncaknya, sesungguhnya Ia mendaki hanya mendapatkan rasa letih saja tidak lebih. Gunung adalah salah satu guru yang mengajarkan banyak ilmu kepada manusia, bagaimana bisa guru akan mengajarkan ilmunya jika muridnya merasa sombong terlebih dahulu?

Mendaki gunung hanya untuk kesenangan atau hobi itu tidak salah, tetapi alangkah baiknya jika kita mendaki gunung sekaligus belajar pada alam, yakni belajar tentang segala ilmu yang mungkin dapat diajarkan alam kepada kita. Kemudian, apabila kita sudah memiliki ilmunya maka kita bisa mengajarkannya kepada orang lain yang belum tahu. Dengan demikian, kegiatan mendaki gunung kelak akan menjadi sebuah kegiatan yang jauh lebih bermartabat dan lebih dihargai oleh orang lain.

GUNUNG ADALAH SUMBER ILMU

Kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa ada banyak sekali ilmu yang sesungguhnya bisa kita petik dari kegiatan mendaki gunung. Ilmu apa sajakah itu?
Berikut ini hanyalah sebagian dari beberapa kelompok ilmu yang bisa diajarkan gunung kepada kita:

1. Ilmu pengetahuan alam

Tak dapat dipungkiri, bahwa gunung adalah sumber ilmu pengetahuan. Para peneliti yang gemar meneliti tentang gunung, akhirnya dapat menemukan dan merumuskan beberapa ilmu-ilmu baru yang dapat berguna bagi manusia. Seperti contohnya: Ilmu volcanologi, botani, zoologi, topografi, ilmu batuan, ilmu lapisan tanah, ilmu obat-obatan, arkeologi dsb yang terlalu banyak untuk disebutkan.
Cabang-cabang ilmu pengetahuan tersebut, tentu saja tak begitu saja muncul. Melainkan melalui proses pencarian dan penemuan secara berkala oleh orang-orang yang memang senang sekali menjelajah gunung-gunung, dan kegiatan pencarian itulah yang sebenarnya disebut dengan ekspedisi. Jadi ekspedisi bukan sekedar mendaki puncak-puncak gunung lalu pulang kembali tanpa menghasilkan sesuatu. Jika ada kegiatan ekspedisi yang demikian, bisa disebut hanya sekedar kegiatan melakukan hobi mendaki gunung. Bukan melakukan ekspedisi.

2. Ilmu sosial

Kegiatan mendaki gunung juga akan berdampak pada bertambahnya wawasan tentang ilmu sosial kita. Sebab, setiap kita mendaki gunung maka kita akan selalu bertemu dan berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman sendiri, penduduk desa atau dengan para pendaki yang mungkin kita jumpai. Kita akan belajar bagaimana bergaul, menghormati dan bersikap baik dengan orang lain, karena jika kita tidak mampu beradaptasi dengan baik, maka kita akan merasakan kerugian yang bisa langsung kita rasakan sendiri.

Dengan mendaki gunung, mengajarkan kita untuk bersosialisasi, bekerjasama dan menjalin tali persahabatan. Oleh karena itu, setelah melakukan kegiatan mendaki gunung, biasanya kita akan merasakan tali persahabatan terjalin lebih erat daripada sebelumnya. Sebab, kita sudah melalui hidup bersama mengatasi berbagai kesulitan, tidur bersama, makan bersama, susah bersama, dan senang bersama selama beberapa hari di alam bebas.

Selain itu, kita juga akan banyak belajar tentang masyarakat desa. Sebab ketika kita melalui desa atau dusun terpencil tempat kita melakukan titik awal pendakian, maka secara tak langsung kita akan belajar mengenal tentang kebudayaan masyarakat baru yang kita temui disana. Baik bahasanya, agamanya, sistem sosialnya, mata pencahariannya, ilmu pengetahuannya, keseniannya, atau adat istiadatnya. Meskipun mungkin kita hanya singgah beberapa hari saja di desa mereka, tapi sebenarnya secara tak langsung kita telah mempelajari sedikit tentang masyarakat desa yang kita singgahi. Dengan demikian, jika kita peka terhadap lingkungan masyarakat yang kita temui, maka kita akan mudah bergaul dengan mereka dan begitu juga dengan mereka akan lebih menghormati kedatangan kita.

Oleh karena itu, sangat disayangkan jika kita hanya sekedar melakukan pendakian gunung tanpa memperhatikan lingkungan masyarakat desa yang kita temui. Kita akan kehilangan beberapa ilmu yang sesungguhnya dapat bermanfaat baik bagi kita sendiri ataupun bagi orang lain.
Lebih baik lagi jika kita akan mendaki gunung, sebelumnya juga mempelajari tentang karakter masyarakat di desa tempat kita melakukan titik awal pendakian. Meski terlihat sepele, tetapi sesungguhnya hal ini sangat penting untuk diri kita sendiri. Karena itu jadilah pecinta alam yang gemar menulis rencana dan catatan perjalanan.

3. Ilmu Filsafat

Mendaki gunung akan mendekatkan kita kepada alam, hal ini tentu bukan rahasia lagi. Sama halnya dengan seorang pelaut yang mengatakan bahwa ‘dengan mengarungi lautan kita akan mengenal diri kita dan bisa lebih menghormati alam’. Sebenarnya hampir sama antara pelaut, pendaki gunung, penerbang atau bahkan astronot. Semakin kita menjelajahi alam maka kita justru akan merasa dekat dengan alam, baik sebagai sahabat atau musuh sekalipun. Jika kita merasakan kedekatan dengan alam dan mengenal alam dengan baik, maka dengan sendirinya kita akan tahu siapakah sebenarnya kita ini.
Jika kita sedang berada di tempat yang aman dan nyaman, berada di rumah, gedung atau hotel dengan dikelilingi orang-orang terdekat kita. Mungkin kita akan merasa sebagai manusia yang memang lebih unggul dari makhluk lainnya. Tetapi jika sedang berada di tengah hutan yang gelap, dikelilingi kabut dan udara yang menusuk tulang. Kita akan tahu bahwa kita hanyalah makhluk yang paling lemah. Kita kalah jauh dengan tumbuhan dan hewan yang mampu bertahan hidup di tengah hutan tanpa membawa bekal makanan atau tenda untuk berlindung dari hujan dan dinginnya udara.

Dengan mendaki gunung, kita akan terbiasa merasakan betapa lemahnya diri kita dan betapa dahsyatnya kekuatan sang alam. Apalagi penciptanya?
Apabila kita sampai di puncak-puncak gunung, kita akan melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Di atas kita, ada langit yang seolah begitu dekat dan luas. Di bawah kita, terhampar dataran yang dihuni oleh berjuta-juta manusia dengan berbagai kesibukannya. Dan ternyata kita hanyalah satu diantara berjuta-juta makhluk yang tinggal di bawah sana. Semua tampak seperti debu yang bertebaran di padang yang luas. Apa lagi yang bisa kita sombongkan?

Demikianlah, dengan mendaki gunung kita akan merasakan kedekatan dengan alam yang pada akhirnya akan mengantarkan kita kepada kedekatan diri kita dengan Tuhan. Jadi dengan mendaki gunung, kita akan belajar ilmu agama yang jauh lebih tinggi, yakni ilmu hakikat diri.
Hal-hal demikian ini, sesungguhnya sudah dibuktikan oleh para nabi dan kaum petapa yang gemar sekali mendaki gunung untuk sekedar bertapa dan menyendiri guna mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dengan menyendiri di gunung-gunung selama beberapa hari bahkan sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun, mereka merasakan kedekatan dengan Tuhannya. Sampai pada akhirnya, mereka dikaruniai beberapa ilmu yang tak semua orang bisa mendapatkannya.
Ilmu hakikat.
“Jika kita mampu mengenali diri sendiri, maka kita akan mengenali Tuhan” (Petikan kalimat dari para kaum hukamah/sufi)
BELAJAR DARI FILOSOFI MENDAKI GUNUNG

Gunung adalah bayang-bayang kehidupan
Puncaknya adalah cita-cita
Lerengnya adalah usaha
Lembahnya adalah iman dan pengetahuan
Hutannya adalah anugerah
Dan kabutnya adalah cobaan
Semakin runcing sebuah gunung
Semakin sulit pula menggapai puncaknya,
tapi butuh waktu yang singkat
SEBALIKNYA
Semakin landai sebuah gunung
Semakin mudah pula menggapai puncaknya,
tapi butuh waktu yang lebih lama
Tapi
Puncak bukanlah tujuan akhir,
karena jalan menurun, telah siap untuk ditapaki
semakin sulit dan menyesatkan
menuju lembah tempat kembali

KODE ETIK PECINTA ALAM INDONESIA
“ PECINTA ALAM INDONESIA SADAR BAHWA ALAM BESERTA ISINYA ADALAH CIPTAAN TUHAN YANG MAHA ESA “

“PECINTA ALAM INDONESIA SEBAGAI BAGIAN DARI MASYARAKAT INDONESIA SADAR AKAN TANGGUNG JAWAB KAMI KEPADA TUHAN, BANGSA DAN TANAH AIR ”

” PECINTA ALAM INDONESIA SADAR BAHWA PECINTA ALAM ADALAH SEBAGAI MAKHLUK YANG MENCINTAI ALAM SEBAGAI ANUGERAH TUHAN YANG MAHA ESA “
Sesuai dengan hakekat diatas kami dengan kesadaran menyatakan :

1. Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya.

3. Mengabdi kepada Bangsa dan Tanah Air.

4. Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnya.

5. Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pecinta alam sesuai dengan azas pecinta alam

6. Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, Bangsa dan Tanah air.

7. Selesai.

Disyahkan bersama dalam GLADIAN IV – 1974 Di Ujungpandang

SAJAK RIMBA

Kami adalah bayang-bayang, yang merayap di tengah jagad rimba
Berdiri di atas tanah, berjalan di atas awan
Berselimut kabut, bersahabat dengan udara yang menusuk raga
Menyerah bukanlah jalan, tetapi mati bukanlah tujuan
Jati diri adalah yang kami cari-cari
Ketika semua orang lelap dalam tidur
Kami ajak alam berdiskusi
Tentang kekuasaan tak terbatas
Alam adalah sahabat, guru dan musuh yang terkejam
Bertualanglah...........................dan ceritakan kepada dunia
Betapa lemahnya engkau dalam pelukan alam
Ceritakanlah..........................ceritakanlah.!
Karena setelah engkau mati, maka mereka yang akan bercerita tentang engkau.
Dan engkau tidak akan hidup sia-sia, hidupmu akan lebih berarti dan abadi.
Demikianlah kami yang hidup di tengah jagad rimba

No comments:

Post a Comment