Akhirnya setelah menunggu
satu setengah jam pesawat Sriwijaya Air yang saya tumpangi bersama Bang Kamser
dan Sato-san mengudara juga diatas langit Cengkareng menuju Malang Jawa Timur.
Langit pagi ini sedikit berkabut, namun setelah pesawat mencapai ketinggian
cruisingnya keadaan langit berubah menjadi warna biru bersih dengan beberapa
awan Cirrocumulus yang tersebar dibeberapa tempat. Keterlambatan satu setengah
jam dari jadwal yang seharusnya pasti akan membuat kami terlambat juga sampai
di Tumpang. Mendekati kota Malang dari jendela kabin terlihat jelas sosok Sang
Mahameru tegak berdiri dan seperti biasa kepulan asap yang mengandung debu dan
pasir atau yang dikenal juga dengan sebutan "wedus gembel" selalu
keluar dari kepundannya.
Tidak sabar rasanya untuk
segera menyentuh pasir halus di puncak tertinggi pulau Jawa ini. Pesawat yang
kami tumpangi mendarat mulus di lapangan udara kota Malang (sorry nama
bandaranya lupa), sepi sekali hanya pesawat kamilah satu-satunya pesawat
komersil yang mendarat di bandara ini mungkin inilah yang menyebabkan tiketnya
lebih mahal dari pada tiket pesawat ke Surabaya, padahal jika dihitung jarak
tidak begitu berbeda. Tak lama kemudian kami sudah berada di ruang tunggu
bandara, tidak seperti bandara lainnya, Bandara kota Malang ini tidak memiliki
ban berjalan untuk mentransfer bagasi. Maka jadilah kami harus mengambil
sendiri barang-barang kami dari gerobak yang diparkir di pinggir Bandara.
Sato-san yang merupakan satu-satunya peserta asing dalam group kami, tertawa
terkekeh-kekeh melihat fasilitas Bandara ini, dan saya sempat ngeles dengan
mengatakan "terang aja ini kan bandara kecil dari sebuah kota yang tidak
begitu populer dicapai via udara".
Tidaklah susah mendapatkan
kendaraan menuju Tumpang dari bandara kecil ini. Dengan hanya mengeluarkan
Rp.50.000,- kami bertiga sudah bisa duduk nyaman didalam mobil kijang ber AC
yang segera melesat menuju Tumpang dimana beberapa teman kami sudah menunggu.
Tumpang adalah sebuah kota kecil yang terletak tidak begitu jauh dari Malang
dan kota kecil ini merupakan tempat dimulainya perjalanan yang mendebarkan
menuju Desa terakhir di kaki Mahameru yaitu Desa Ranu Pane. Saat memasuki pasar
Tumpang, mobil kami berhenti persis di depan Alfa Mart, tempat dimana kami
berkumpul dengan para member HC yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Disana sudah ada Mba Nia dan Pak Iyan dari Bandung, Andreas dari Surabaya, Bli
Ketut Ermil dari Bali, Pram, Tosani, Yadi, Nhanha, dan Lili dari Jakarta. Tak
lama kemudian Mba Endah dari Kalimantan yang datang bareng dengan Tina dari
Bandung, Maulana datang bareng Rizky. Segera setelah itu kami mulai meloading
ransel-ransel besar kami keatas Jeep yang akan kami pakai menuju Ranupane.
Lepas tengah hari kami berangkat, sebetulnya masih ada rekan dari Surabaya yang
belum datang yaitu Rara, Yeni, Yoni dan Tanty. Akan tetapi menurut Rizky mereka
akan datang menyusul besok langsung ke Ranupane.
Jeep hardtop merah penuh
muatan ransel gede dan manusia-manusia HC mulai bergerak meninggalkan Tumpang
dan sejenak kami berhenti di Gubuk Klakah untuk mengurus perijinan, kemudian
setelah itu kami meneruskan lagi perjalanan menuju Desa Ranupane. Memasuki
tanjakan curam kawasan pegunungan Bromo Semeru, jeep kami mulai sedikit
terseok-seok, akan tetapi tetap bisa melaju dengan bantuan ganjelan pada ban
mobil yang selalu dipersiapkan oleh keneknya. Selepas jalan beraspal kami
dihadapkan pada jalan yang penuh debu, agaknya musim kemarau sudah melanda
kawasan Jawa Timur ini. Debu tebal memenuhi belakang mobil, Nhanha dan Yadi yang
tadinya enjoy duduk berjuntai kaki di belakang kap mobil, kini terpaksa ikut
bediri dan masing-masing kami berusaha menutup rapat mulut dan hidung dari
serangan debu. Meskipun begitu gelak tawa dan cela-celaan terus menghiasi
perjalanan dengan jeep yang terkadang miring kekiri dan kekanan....
emasuki Ranu pane, jam
menunjukan pukul 3 sore dan sesuai dengan rencana kami menginap di Guesthouse
Ranupane yang berlokasi persis didepan Danaunya. Sejenak saya memandang kearah
danau dan desa Ranu Pane, tampak ada beberapa perubahan yang terjadi, terakhir
saya mengunjungi Mahameru di tahun 2000, desa ini belum mempunyai Pura,
sekarang sudah ada Pura Hindu nan cantik yang berdiri persis dipinggir danau
dan agak menjorok sedikit kedalam. Setelah semua ransel kami ada di Guesthouse,
beberapa orang dari kami melakukan hiking kecil ke Danau Ranu Regulo yang
berada tidak jauh dari danau Ranu Pane. Sekitar 15 menit jalan kaki akhirnya
kami sampai di Danau Ranu Regulo, tampak sekali efek musim kemarau telah telah
membuat surut air danau Ranu Pane dan Ranu Regulo ini. Yadi, Pram, Tosani, Bang
Kamser dan Bli Ketut Ermil memutuskan akan mandi, mungkin mereka terpancing
oleh karena adanya beberapa penduduk setempat yang tengah asyik mandi. Selagi
mereka mandi beberapa shoot paparazi berhasil saya dapatkan termasuk salah
satunya pose terkenal dari "Si kolor hijau".......
Malam harinya sesuai dengan
rencana, Regu 01 dengan ketua Yadi dan beranggotakan Lili, Bang kamser,
Sato-san dan saya mulai sibuk packing ulang, begitu juga dengan teman-teman
regu lainnya. Bang Kamsaer memutuskan untuk menyewa satu porter untuk dirinya,
akhirnya saya juga memutuskan untuk melakukan hal yang sama agar saya bisa
bebas mebuat dokumentasi Video Mahameru jadi jika saya tidak membawa beban akan
lebih memudahkan untuk bergerak mendokumentasikan pendakian ini. Malam jatuh
semakin larut selesai kami semua packing, acara berlanjutkan dengan acara
ngobrol dan ceng-cengan. Saat mata mulai mengantuk karena rasa capek setelah
seharian perjalanan dan juga suhu yang dingin sekitar 10 serajat didalam
guesthouse membuat mata tidak bisa diajak kompromi lagi, akhirnya sayapun
menyusul, Andreas, Sato-san dan Bang Kamser yang telah dulu terlelap didekap
Sleeping bagnya. Mungkin karena suhu yang dingin tempat tidur berkasur
Guesthouse ini terasa begitu dingin, dan seperti yang lainnya sayapun
memutuskan untuk tidaur dengan memakai sleeping bag. Semetara teman-teman yang
lain masih asyik ramai mengobrol di ruang tengah guesthouse.
Pagi yang dingin, sempat
saya melirik thermometer yang menggantung pada resleting tas camera,…… uhh…
gile, 5 derajad celcius….!!! Gimana semalam ya.., pasti lebih dingin lagi tapi
syukurlah saya bisa tidur lelap dibungkus oleh kepompong sleeping bag tadi
malam. Perlahan saya keluar kamar sembari menenteng tas camera. Danau Ranu
Kumbolo pagi ini meyuguhkan pemandangan yang memukau, airnya seperti berasap
sementara cahaya mentari pagi jatuh diatasnya sehingga menimbulkan kesan
spotlight-spotlight putih yang indah sekali. Tidak henti-hentinya shutter
camera saya pencet mengabadikannya, hal serupa juga terjadi pada teman-teman
yang lain, seakan mereka terpukau dan tak puas-puas mengabadikannya.
Dinginnya pagi ini membuat
saya hanya melakukan setengah dari ritual pagi, dan tak lama kemudian kami
mulai sibuk bersiap packing, sementara porter yang akan kami sewa sudah mulai
berdatang dan siap untuk membawa sebagian dari perlengkapan dan logistik kami.
Rombongan kami bertambah empat orang lagi hari ini, yaitu: Yoni, Tanti, Rara
dan Yeni. Mereka dari Surabaya. Tapi salah seorang dari mereka yaitu Yeni
berasal dari Jakarta dan kamipun segera membaur. Hari ini makan pagi masih kami
lakukan di warung milik “Bunda” begitu Nhanha memanggil pejaganya. Semua
sarapan dengan lahap tak terkecuali Sato-san yang sepertinya sudah mempunyai
perut orang Indonesia, sehingga sambal yang pedas lewat begitu saja dari
tenggorokannya dan dengan logat jepangnya di bilang “Eennaaak sekali ya…”.
Sekitar jam sembilan pagi
kami memulai perjalanan pendakian, semua teman-teman tampak ceria sekali dan
ritual ceng-cenganpun sesekali terdengar menghiasi langkah-langkah kami. Tapi
kondisi ini tidak berlangsung lama karena begitu jalan setapak mulai mendaki,
lambat laun kamipun terpecah jadi beberapa kelompok, namun berkat adanya
dukungan radio komunikasi semuanya tidak masalah. Dan perjalanan pendakian pun
terus berlanjut. Selain rombongan kami ada beberapa rombongan lain yang mendaki
termasuk diataranya satu group turis asing, dan saat porter mereka melewati
kami, tiba-tiba saja Sato-san tertawa-terkekeh-kekeh. Selidik punya selidik
ternyata penyebabnya adalah tas milik group turis yang dibawa porter mereka
adalah tas koper beroda yang biasa dipakai buat traveling. “Hendri-san apa ada
airport disini ya….???hahahahahahaha…..” begitu kata Sato-san tertawa geli
sambil menunjuk kearah porter yang tengah melewati kami.
Sesekali kami beristirahat,
rupanya ada beberapa tempat di jalur antara Ranupane dan Ranukumbolo ini yang
bisa menangkap sinyal Telkomsel. Maka jadilah setiap berhenti kami sibuk dengan
HP masing-masing, mengirim kabar pendek kepada orang-orang yang dekat dihati,
tapi untuk saat ini jauh dimata. Terutama Bang Kamser yang paling heboh karena
sinyal HP telkomselnya kesedot sama Mba Endah. nan Tina “lho …… kok bisa…?????”
ternyata hanya joke buat beliau berdua, karena memang Mba Endah dan Tina
bekerja di Telkomsel, sehingga diledek dengan sebuatan yang punya sinyal.
Keadaan jalur trek di
lintasan ini landai dan tidak sulit, tampak sisa-sisa pohon rubuh dan semak
belukar yang sudah dipangkas habis, sehingga bagi yang bawa ransel tinggi tidak
perlu lagi harus berjongkok dan menunduk untuk menghindari bentangan pohon dan
rimbunya semak belukar tersebut. Rupanya sebelum dibuka kembali pihak taman
nasional sudah membersihkan jalur pendakian ini. Seperti yang di infokan oleh
Pak Iyan, salah anggota komunitas HC dari Bandung yang juga merupakan petugas
dari Vulkanologi Bandung dan “person in charge” untuk pemantauan gunung
Mahameru ini. Seminggu sebelum event ini Pak Iyan sudah berada dipuncak Mahameru
untuk memasang peralatan vulkanologi guna pemantauan lebih lanjut, dan akhirnya
rekomendasi Mahameru aman didaki dikeluarkan juga oleh pak Iyan via kantornya
di Bandung. Alhasil event pendakian bersama HC ke Mahameru tidak mengalami
hambatan untuk dilaksanakan. Walaupun sebelumnya beberapa teman meragukan event
ini bisa dilaksanakan sehubungan dengan masih tertutupnya Mahameru untuk
didaki. Tapi karena saya dapat info up date terus dari Pak Iyan via Mba Nia,
semua kekhawatiran itu berhasil ditepis, “Tenang aja, pas event kita akan
dilaksanakan Pak Iyan akan mengririmkan rekomendasi Mahameru layak didaki pada
taman nasional, jadi event kita bisa dilaksanakan……” begitu komentar saya saat
beberapa teman menyampaikan kekhawatiran mereka tentang masih tertutupnya
Mahameru untuk didaki.
“Bang itu Ranu kumbolo..”
suara saya memecah kesunyian yang hanya diisi oleh suara nafas dan langkah
kaki, Bang Kamser berhenti sejenak dan tak kala kabut tersibak tampaklah Danau
berair biru kehijauan dan dikelilingi oleh perbukitan yang yang hanya ditumbuhi
beberapa cemara dan dibeberapa tempat malah hanya oleh ilalang. Inilah
pemandangan yang selalu di rindukan oleh para pendaki gunung setiap mendatangi
gunung ini. Ranu Kumbolo, merupakan bahasa Jawa kuno yang bisa diartikan sebagai
“Danau Pengembala” di tepi danau ini terdapat sebuah peninggalan berupa
prasasti yang diperkirakan berasal dari jaman Majapahit. Saat jalan setapak
menurun mendekati danau ini maka disebelah kanan akan terlihat sebuah padang
savanna yang bernama “Pangonan Cilik” nama ini juga diartikan sebagai “Padang
pengembalaan kecil”. Mungkin dulunya Danau dan Savana tersebut tempat
orang-orang pengembalakan ternaknya.
Saya merekam beberapa
gambar video dengan figure Bang Kamser, Lili dan Nhanha dan kemudian kamipun
mulai menuruni bukit mengikuti jalan setapak menuju danau, ditengah jalan saya
bertemu dengan Ketut Ermil yang tengah mengabadikan gambar pakai handycamnya,
saya jadi tergoda untuk minta tolong dia mengambil moment dengan figure saya
juga. Dan setelah beberapa shoot, tiba-tiba dia seperti orang kehilangan
mencari-cari sesuatu smabil bergumam dengan dialek Balinya yang khas.. “Tongkat
saya dimana..?? …… dimana tongkat saya…????” Oooo… rupanya dia tengah mencari
trekking pole nya yang etah dimana dia letakan. Saya membantu sebentar kemudian
berinisiatif untuk mengejar Nhanha siapa tahu tongkatnya Bli’ Ermil ini dibawa
dia. Segera saya lari menuruni bukit kearah danau dan setelah saya sampai
disana, benar juga Nhanha, Lili dan Bang Kamser tengah istirahat di danau dan
ditangan Nhanha tampak trekking polenya Bli’ Ermil. Saat saya ceritakan
bagaimana Bli’ Ermil cemas mencari tongkatnya sembari terus beergumam dengan
dialek Balinya…, mereka bertiga tertawa terpikal-pikal….. “Bli……., tongkatnya
ada sama Nhanha…!!!!” teriak saya kea rah Bli’ Ermil yang masih mengais-ngais
rumput diatas bukit mencari tongkatnya…
Kembali saya meneruskan
perjalanan ke lokasi tempat biasa dipakai ngecamp yaitu dipinggir danau
disebelah selatan, disana tampak setangah dari rombongan kami sudah sampai dan
tengah beristirahat.
Keheningan Ranu Kumbolo
mulai buyar oleh gelak tawa dan suara-suara canda dari kami, yang sibuk
mendirikan tenda. Dengan mengambil lokasi di sisi utara danau kami mendirikan
tenda berjejer menghadap ke danau dan dibelakang kami tegak berdiri tanjakan
cinta. Mungkin anda akan bertanya-tanya kenapa tanjakan tersebut dinamakan
tanjakan cinta. Konon, jika mendaki tanjakan tersebut dengan satu ritme nafas
alias tanpa berhenti dan tanpa menoleh kebelakang hingga sampai diatas puncak
bukit tanjakan tersebut, maka apa yang anda cita-citakan tentang cinta akan
tercapai. Percaya atau tidak semua terserah anda.
Sebagaimana layaknya sebuah
basecamp, sore ini kesibukan mulai terlihat, suara detingan nesting dan gemuruh
suara kompor gaz dari aktivitas masak memasak mulai terdengar, dan perlahan
tapi pasti malam mulai jatuh di Ranu Kumbolo seiring dengan suhu yang mulai
terasa semakin dingin. Beberapa teman memilih untuk memasak didalam tenda,
beberapa diantaranya diluar tenda, termasuk regu saya. Lili, satu-satunya cewek
di regu kami dan merupakan mami dari regu kami sibuk sekali memasak tapi
mulutnya tak kalah sibuk juga dengan suara kicauannya menghiasi suasana malam
yang semakin sepi di Ranu Kumbolo. Malam ini langit penuh bintang, meskipun
dinginnya mengigit sayang sekali melewatkan moment seperti ini. Beberapa teman
tampak asyik mencari kehangatan didekat api unggun yang dibuat oleh para porter
kami.
“Uuuhh… bau nasi gosong
nih…!” teriak seseorang dari dalam tenda, selidik punya selidik ternyata yang
gosong adalah nasinya Lili, rupanya dia tidak terbiasa memasak nasi dengan
memakai kompor Trangia, berhubung perut lapar apa boleh buat, nasi yang
berkerak tebalpun jadi tetap enak. Selesai makan semua kembali melakukan
ritualnya masing-masing, ada yang asyik ngobrol di tenda, di api unggun dan ada
juga yang menjadi romantis mengamati bintang-bintang di langit. Tak lama
kemudian bulanpun muncul dari arah balik bukit di Ranu Kumbolo, perlahan sinar
keperakannya jatuh menerangi permungkaan danau Ranu Kumbolo. Suhu semakin
dingin, akhirnya saya tak tahan dan masuk tenda menyusul Sato-san yang sudah
terlebih dahulu terlelap dalam dekapan sleeping bagnya, teman-teman yang lain
rupanya juga sudah mulai terlelap. Keheningan dan suhu yang dingin membuat kami
segera terlena dalam dekapan mimpi masing-masing.
Saya terbangun saat
mendengar suara teriakan seseorang dekat dari tenda saya, rupanya sudah pagi,
Sato-san masih tidur, perlahan saya membuka pintu tenda dan menyembulkan kepala
keluar tenda. “ah….. pagi yang indah” gumamku. Tangan saya terasa dingin saat
menyentuh lembar flysheet tenda, setelah saya perhatikan dengan cermat rupanya
pada lembar flysheet tersebut terdapat embun yang membeku warnanya putih. Saya
buru-buru keluar tenda ingin memastikan lagi, ternyata benar semua tenda
memutih atapnya karena adanya embun yang membeku disana. Pasti suhu semalam
dingin sekali. “Di vestibule tenda saya aja suhunya 2 derajat bang…” kata Rizky
memberi penjelasan saat kita ramai-ramai membicarakan embun yang membeku ini.
Sementara Nhanha, tampak senang sekali tenda barunya terlihat lain dengan
lapisan embun beku, dia menggores lapisan embun beku tersebut dengan menuliskan
namanya dan merekamnya dengan handycam. Bau udara pagi yang masih terasa tidak
menghambat aktivitas kami, kembali suasana basecamp Ranu kumbolo dihiasai suara
nesting dan raungan kompor gas serta gelak tawa kami. Sarapan pagi sedang
disiapkan, sebelum melanjutkan perjalanan perut kami harus diisi karena
perjalanan hari ini masih cukup jauh. Target hari ini adalah mencapai Arcopodo
dan menginap disana.
Sekitar jam 10 pagi satu
persatu rombongan kami melanjutkan perjalanan, seperti biasa Rizky dan Yadoet
merupakan rombongan paling belakang karena mereka merupakan sweaper team kami.
Tampak iring-iringan rombongan kami berjejer menapaki tanjakan cinta, ternyata
diantara mereka ada juga yang berhenti ditengah dan melihat kebelakang, tapi
ada juga yang tetap mendaki tanpa berhenti dan menoleh kebelakang. Saat sampai
diatas tanjakan cinta, jika kita melemparkan pandangan kebelakang maka
tampaklah hamparan keindahan dari Ranu Kumbolo. Dan jika kita terus melangkah
maka keindahan lain akan menyergap kita yaitu hamparan padang rumput Oro Ombo
dan terlihat dikejauhan puncak Mahameru yang sesekali mengeluarkan letusannya
atau yang dikenal dengan sebutan “Wedus Gembel”. Padang rumput Oro Ombo luasnya
kuirang lebih 100 hektar dan berada pada lembah yang dikelilingi oleh
bukit-bukit gundul yang ditumbuhi ilalang dan beberapa pohon cemara gunung.
Saya berhenti sejenak mengabadikan perjalanan teman-teman lewat lensa handycamp
dan camera, dan kemudian berdiri memejamkan mata menikmati semilir angin sejuk
yang behembus lembut dan terasa sejuk dibadan yang mulai berkeringat karena
perjalanan serta panas matahari pagi yang mulai membakar. Saya berusaha
mengejar ketertinggalan dari teman-teman yang sudah mendahului, kami hanya
memiliki sepasang radio komunikasi, satunya dipegang Rizky dibelakang dan
satunya dipegang saya. Jadi otomatis saya harus berada didepan. Singkat kata
setelah melewati hutan semak belukar dan cemara di Cemoro kandang, akhirnya
saya berhasil menyusul mereka di Blok Jamblangan. Sesekali saya mengadakan
kontak dengan Rizky. Dari Blok Jamblangan masih ada beberapa padang rumput
kecil yang harus dilewati sampai akhirnya kita akan melewati padang rumput
terakhir yaitu padang rumput didaerah Kali Mati. Disini terdapat sebuah pondok
kecil, akan tetapi keadaannya sudah sangat memprihatinkan. Saat kami sampai
disana terlihat banyak porter yang istirahat rupanya, mereka adalah para porter
rombongan turis bule yang pakai koper beroda kemaren. Kami beristirahat dibawah
rindangnya pohon cemara tidak jauh dari pondok. Saya melakukan beberapa
koordinasi kecil dengan Rizky, akhirnya diputuskan rombongan yang sudah dulu
sampai kalimati agar terus mendaki hingga Arcopodo dan para porter kami suruh
untuk mengambil air di Sumber Mani untuk persediaan di Arcpodo nanti. Sumber
Mani merupakan satu-satunya lokasi sumber air di blok kali mati ini, dan berada
tidak jauh dari Kalimati.
Beberapa orang dari
rombongan kami sudah melanjutkan perjalanan menuju Arcopodo, dan tak lama
kemudian saya pun lanjut bersama Bang Kamser dan Rara. Dipenghujung savanna
Kalimati ini jalut trek menurun kemudian masuk kedalam hutan pinus dan perlahan
jalur trek tersebut menjadi menanjak. Musim kemarau yang kering mebuat jalur
trek mahameru menjadi sangat tebal dengan debu. Rizky kembali kontak
menginformasikan ada lokasi yang bagus buat mendirikan tenda sedikit lebih
keatas dari Arcopodo. Sampai di Arcopodo saya tidak mendapati teman-teman
rupanya mereka telah sampai dibawah “Kelik” akhirnya kami memutuskan untuk
mendirikan tenda di lokasi itu saja. Suara deru angin yang melewati daun cemara
gunung terdengar menderu-deru mengiringi kami yang tengah sibuk mendirikan
tenda. Tak lama kemudian satu persatu teman-teman kami mulai berdatangan dan
ikut-ikutan sibuk mendirikan tenda. Karena keterbatasan air, malam ini kami
tidak memasak seheboh di Ranu kumbolo, kami labih memilih memasak makanan yang
tidak banyak memakai air. Sementara Sato-san memilih memakan bekal Nasi instant
berikut laukpauk instant Jepangnya. Selesai makan kami tidak berlama-lama
diluar, segera kami masuk tenda. Malam ini saya dan Sato-san mendapat tambahan
teman, Rara mengunsi ke tenda kami, karena jumlah penghuni tenda kami
bertambah, ini membuat tenda jadi semakin hangat. “Panas..ya… panas sekali
ya…..” berkali-kali Sato-san bergumam. Sayapun merasakan hal yang sama,
sementara Rara tidur dengan lelapnya ditengah-tengah kami berbungkus sleeping
bagnya. Jaket fleece yang kami kenakan terpaksa harus dilepas agar tidak
terlalu panas dan akhirnya saya bisa juga terlelap sementara diluar suara angin
yang bertiup kencang di lembah sana mengeluarkan bunyi yang meraung-raung. Kami
harus cepat tidur karena dini hari jam 03.00 nanti perjalanan summit attack
akan dimulai. dan tak lama kemudian kembali kesunyian menyelimuti lokasi
basecamp kami.......
Saya terbangun dan merasa gerah sekali, leher dan kenign saya berkeringat. Segera saya duduk., “panas ya….” Kembali suara Sato-san terdengar. Memang panas sekali sementara Rara masih tertidur pulas dibalik sleeping bagnya. “Jam berapa sekarang Sato-san?” tayanya saya, Sato-san melihat jamnya dan berkata “sudah jam 01.40 ya…” Harus bangun nih, batin saya. Perlahan saya menyingkirkan sleeping bag yang sekarang terasa membuat gerah, dan keluar dari tenda. Sementara angin di bawah lembah sana terdengar masih menderu-deru. Beberapa teman sudah bangun dan mulai bersiap-siap, setelah badan terasa tidak begitu gerah lagi saya kembali masuk tenda dan mempersiapkan beberapa item yang akan dibawa ke puncak nanti.
Setelah selesai sarapan ala
kadarnya kami semua sudah siap untuk berangkat, jarum jam menunjukan angka
02.30 saaat kami berkumpul membentuk lingkaran dan berdo’a sebelum melakukan
pendakian ke puncak. Tak lama kemudian iri-iringan kami mulai menapaki jalan
setapak yang dikiri-kanannya berupa jurang yang menganga. Saya berjalan paling
depan kemudian diikuti oleh Andreas yang membawa bendera rute. Bendera rute
yang disiapkan Rizky ini memang sengaja sudah kami rencanakan karena mengingat
rute pendakian menuju puncak Mahameru berupa tanjakan pasir yang terkadang
membuat pendaki kesasar saat menuruninya, apalagi jika kabut tebal menghalangi
pemandangan maka tidak jarang pendaki yang kesasar atau turun ke punggungan
yang salah. Pada rombongan kami ini banyak yang baru mendaki Mahameru, jadi
saya merencanakan untuk memakai bendera rute untuk mengatasi masalah ini.
Bendera rute atau istilah mountaineeringnya disebut dengan “Wands” ini bisa
terbuat dari bahan kayu atau bambu dan biasanya diikatkan kain merah atau pita
warna merah, panjang tiangnya bisa sekitar setengah hingga satu meter. Wands
ini banyak dipakai pada pendakian gunung-gunung bersalju untuk menandai rute
pendakian dan memudahkan pendaki menelusurinya saat turun, ini akan menghidari
pendaki agar tidak tersasar atau salah jalur. Juga pada pendakian bersalju,
Wands ini bisa digunakan juga untuk menandai daerah berbahaya seperti
craves-craves atau jurang-jurang salju yang tersembunyi.
Pendakian masih berlanjut
sesekali saya menoleh kebelakang tapak sinar headlamp bergerak perlahan dan
beriringan. Gerakan pendakian kami memang pelan sekali karena medan pendakian
yang terjal serta berpasur halus. Cukup menguras tenaga karena setiap kaki
melangkah naik maka akan merosot setengahnya. Pada jarak-jarak tertentu bendera
rute saya tancapkan, tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat, selama
tidak terlalu jauh dari jarak pandang. Pendakian kepuncak terus berlanjut,
semetara bias merah mentari pagi yang mulai perlahan tapi pasti mulai merebak
di ufuk timur. “Wah.., ngga mungkin nyampe puncak pas sunrise nih..” gumam saya
sambil terus berusaha melawan tanjakan berpasir yang terus membuat kaki merosot
turun. Dan benar saja, akhirnya bias merah tersebut semakin nyata, untunglah
saya sudah cukup tinggi posisinya dan bisa mengabadikan saat mentari mulai
menyembul sebagai sebuah bola berwarna merah dan perlahan cahayanya mulai
merebak terang, jika kita edarkan pandangan tampak jelas pegunungan Bromo dan
gunung Arjuno-Welirang serta beberapa gunung lainnya.
Puncak sudah terlihat, saya
mempercepat langkah diikuti oleh Bli Ermil, Rara, dan Andreas, Tepat jam 06.00
pagi akhirnya rombongan pertama Saya, Ermil, Rara, Andreas, Lili, Pram dan
lainnya sampe puncak, kemudian perlahan satu persatu rombongan kami lainnya
mulai sampai. Puncak Mahameru merupakan sebuah dataran yang cukup luas dan
berpasir halus. Disini bisa kita temukan 3 buah memorium/prasasti untuk
mengenal pendaki yang gugur di puncak Mahameru ini. Satu prasasti ditujukan
buat Soe Hok gie dan Idham Lubis anggota Mapala UI yang meninggal tahun 1969,
yang kedua untuk dua orang karyawan Direktorat Volkanologi Indonesia yaitu Ir.
Asep wildan dan Mukti yang meninggal saat menunaikan tugas pengamatan di puncak
mahameru ini, sedangkan yang ketiga ditujukan untuk mengenang seorang pendaki
yang bernama Deny Habo.
Setelah bersalaman dan
seprti biasa layaknya kami mulai sibuk dengan kamera masing-masing. Dari puncak
tertinggi pulau jawa ini kita bisa terlihat pantai selatan jawa, jejeran
dataran tinggi Bromo Semeru, beberapa gunung-gunung di jawa tengah. Sementara
kawah Mahameru yang bernama Jonggring Seloka setiap 15 – 30 menit sekali
memuntahkan pasir dan terkadang mengandung material batu-batu yang dikenal juga
dengan sebutan “Wedus Gembel”. Tak puas-puasnya kami menikmati dan mengabadikan
indahnya pemandangan dari puncak Mahameru ini. Sayang sekali Pak Iyan dan Mba
Nia orang vulkanologi yang juga member milis HC tidak lanjut naik sampai
puncak, kalau mereka ikut naik sampai puncak pasti kita dapat ilmu tambahan
lagi mengenai Mahameru ini. Beliau berdua kemaren hanya sampai Ranukumbolo,
karena ijin cuti yang terbatas dari kantornya. Dari Pak Iyan kami mendapat
informasi mengenai Wedus Gembel ini. Ternyata selang waktu keluarnya wedus
gembel itu terkait juga dengan material yang dimuntahkan, yaitu jika selang
waktu muntahan pertama ke muntahan berikutnya berjarak 15-30 menit maka
kandungannya biasanya hanya pasir saja, tapi jika lebih dari 30 menit, maka
bukan hanya pasir yang keluar tapi juga batu-batu dan menurut pak iyan tak
jarang batu tersebut juga hinggap di puncak Mahameru, itulah yang menyebabkan
meninggalnya rekan kerja pak Iyan di puncak Mahameru ini. Untuk itu diharapakan
para pendaki hendaknya berhati-hati saat berada di puncak Mahameru ini.
Setelah semua anggota
pendakian bersama ini sampai dipuncak, kami semua membuat foto keluarga bersama
di latar belakang dengan wedus gembel yang membubung tinggi. Cukup lama kami dipuncak,
dan sebelum jam 10.00 pagi kami sudah turun kembali menuju Basecamp kami di
dekat Kelik. Perjalanan turun sangat menyenangkan karena kami tinggal merosot
saja seperti main ski. Turun dari puncak hingga lokasi basecamp kami hanya saya
tempuh sekitar 40 menit.. Dan setelah packing ulang kami semua segera turun
kembali menuju Ranukumbolo dan menginap disana kembali.
Sekitar jam 03.00 sore
saya, sampai di Ranu Kumbolo, Anreas, Ermil, Sato, Nhanha, Tina, Mba endah dan
beberapa porter dusah sampai duluan. Anreas sudah mendirikan tenda, untuk saja
porter saya sudah sampai jadi saya segera bisa mendirikan dua tenda dan tak
lama kemudian Yoni sudah dating juga dan segera mendirikan tendanya. Satu
persatu teman-teman kami mulai sampai, dan tak lama kemudian kembali areal
basecamp Ranu Kumbolo telah dipenuhi lagi oleh tenda-tenda kami yang beraneka
warna, serta suasana yang jadi meriah oleh celoteh dan suara rebut kami yang
sibuk memasak dan sperti biasa atmosphere ceng-cengan kembali merebak mungkin
karena lelahnya perjalanan panjang siang tadi, banyak diatara kami yang
langsung terlelap setelah menikmati santap malam. Yah, perjalanan masih belum
berakhir, etape Ranu Kumbolo hingga Ranu Pane masih menunggu esok harinya.
Malam ini tidur harus selelap mungkin, dan seperti biasa suhu di ranu Kumbolo
ini jauh lebih dingin dari pada Arcopodo, jadi sayapun mulai memakai pakaian
tidur sehangat mungkin dan kemudian menyusup masuk
Kedalam kehangatan sleeping bag.
Kedalam kehangatan sleeping bag.
Kali ini saya terbangun
bukan karena gangguan dari suara berisik teman-teman, akan tetapi terbangun
dengan sendirinya, kemudian saya mencoba bangun dan membuka resleting pintu
tenda. Dari jendela plastic vestibule tenda terlihat air Danau Ranu Kumbolo
memantulkan warna merah langit dipagi hari, masih sedikit gelap jadi saya
memutuskan untuk terus berbaring didalam tenda dan sementara pintu tenda saya
buka dan membiarkan pintu vestibule tenda tetap tertutup agar angin tidak
menerjang masuk. Dari plastik pintu vestibule saya bisa dengan bebas memandang
kearah Ranu Kumbolo, sembari duduk berbungkus sleeping bag., sesekali dan
secara bergantian kamera dan handycam saya gunakan untuk mengabadikan suasana
pagi ini. Sementara suara rutinitas pagi dari para pendaki gunung di
Ranukumbolo ini mulai terdengar. Sato-san masih tertidur pulas seperti
kepompong ulat, hanya suara nafasnya yang teratur saja yang terdengar.
Tiba-tiba terdengar suara Ermil dengan logat khas Balinya menawarakan susu
cokat bagi yang sudah bangun. “Mau..mau..mau..!!” teriak saya dari dalam tenda
dan segera keluar, wah Ermil ini baik sekali dia merupakan salah seorang
anggota milis highcamp dari Bali. Kehangatan dari susu coklat terasa mengaliri
tenggorakan dan dada saya, sambil tetap memegang gelas saya edarkan pandangan
kearah tenda teman-teman lainnya. Semua tampak sibuk denan ritual pagi
masing-masing, sementara beberapa tenda masih tampak tertutup rapat, rupanya
penghuninya masih tidur terlelap setelah perjalanan summit attack yang cukup
panjang kemaren.
Hari ini adalah hari
kelima, dan hari ini juga kami akan turun ke Ranu pane dan langsung menuju
Cemoro Lawang Bromo dan menginap disana. Permungkaan air ranu kumbolo tampak
beriak kecil dihembus oleh lembutnya angin gunung, langit biru cerah, sesayup
mata memandang disekeliling danau ini tampak bukit-bukit gundul yang hanya
ditumbuhi oleh ilalang, dan diarah yang berlawanan dari bukit tersebut tampak
jejeran bukit yang ditumbuhi oleh cemara gunung. Tak lama setelah makan pagi,
kami sudah mulai sibuk packing peralatan, dan kemudian satu persatu dari kami mulai
menapaki jalan setapak turun kembali menuju Ranu Pane, seperti biasa Rizky, dan
Yadi bersama dengan Yoni menjadi team sweaper kami dan akan berjalan dibagian
belakang. Sekitar jam 14.00 siang satu persatu dari kami sampai juga di Ranu
pane, dan segera kami menyerbu warung nasi “Bunda” termasuk saya, padahal tadi
di Ranukumbolo saya cukup banyak sarapan makan nasi goreng spesial hasil masakn
Lili. Warung seketika ramai oleh kami yang kelaparan dan seperti kemaren
pemilik warung ini tampak kewalahan melayani kami, nasi sayur lodeh segera
memenuhi perut kami yang terasa kosong.
Jeep charteran kami yang
kemaren sudah standby dan segera setelah semua barang selesai dimuat dan
kamipun menaiki jeep hardtop ini dan kembali menelusuri jalan berdebu tebal
yang melintasi perkebunan kol di Ranupane ini. Raungan mesin kendaraan
bertenaga 4x4 ini memecahkan kesunyian lembah Ranu pane yang perlahan mulai
tertinggal jauh di belakang. Saat sampai di pertigaan Bromo supir jeep meminta
sebagian dari kami untuk turun karena dia khawatir dengan rem mobil ini yang
mungkin tidak akan pakem jika diisi dengan muatan yang penuh, mengingat
curamnya turunan yang akan ditempuh. Setelah daerah rawan dilewati kembali kami
manaiki jeep tersebut dan segera melaju turun. Perjalanan semakin mengasyikan
saat mobil jeep kami sampai hamparan dataran Bromo. Hamparan padang pasir bromo
ini terhampar memanjang dan disebelah kiri tampak tegak berdiri deretan
puncak-puncak pegunungan Bromo, sementara di sebelah kanan tegak berdiri
dinding tebing curam, indah sekali.
Jarum jam menujukan pukul
lima sore saat mobil kami sampai di Portal Cemoro Lawang. Malam ini kami akan
menginap di penginapan “Cemara” karena besok pagi sekali kami berencana akan
menikmati sunrise dari puncak Pananjakan. Ternyata hotel Cemara kamarnya banyak
yang terisi, cukup repot juga mengatur pembagian kamar, dan akhirnya setelah
semua setuju dengan pengaturan yang ditawarkan, ada yang sekamar berempat dan
ada juga yang berdua, apa boleh buat toh hanya semalam ini. Mau tidak mau mandipun
kami lakukan begiliran. Malam ini kami makan malam sembari merayakan ulang
tahun dari Lili yang jatuh tepat saat berada di Ranukumbolo tadi, Bang Kamser
berinisiatif untuk membuat kejutan kecil buat Lili, dan sebuah kado sederhana
perlambang tulusnya persahabatanpun telah disediakan. Seperti biasa suasana
makan malam kami penuh dengan celoteh dan guyonan yang segar dari kami semua,
sehingga dinginnya udara malam di Bromo ini jadi tidak begitu terasa, terlebih
lagi buat maulana yang menjadi objek “Hot Spot” pada malam ini. Sebelum malam
jatuh semakin larut kami sudah kembali kekamar, dan kembali berlayar kedalam
mimpi masing-masing, serta kenangan seru tentang pendakian yang telah kami
alami bersama di saat Kemarau di Mahameru.
No comments:
Post a Comment