Oleh banyak orang, korelasi antara manfaat nyata dengan resiko dari kegiatan ini kerap dianggap tidak berbanding lurus. Pilihan seseorang untuk pergi bertualang ke alam bebas seperti tebing, gunung, gua bawah tanah, sungai, seringkali mendapat penentangan bahkan “vonis mati” dari orang - orang di sekitarnya.
“Banyak pendaki yang menjadi penulis akibat dari kesalahpahaman orang terhadap pendakian gunung.”
Kalimat Jonathan Waterman, seorang penulis, fotografer dan pendaki gunung asal AS di atas, dapat menjadi bukti betapa derasnya arus kesalahpahaman masyarakat luas terhadap kegiatan petualangan. Keaslahpahaman yang bagi para pelaku kegiatan ini terkadang sama beratnya dengan menghadapi rintangan - rintangan di alam bebas.
Dari beberapa diskusi berkepanjangan yang terjadi dalam hal ini, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa sebenarnya bukan faktor potensi bahaya yang paling “mengganggu” bagi masyarakat awam, melainkan lebih kepada tidak adanya “imbalan langsung” yang dapat diperoleh dari setiap kegiatan ini. Petualangan dianggap bukan sebuah industri olah raga laiknya sepak bola yang notabene dapat menghasilkan duit banyak. Sebaliknya, para pelakunya justru harus mengeluarkan uang banyak untuk melakukan kegiatannya.
Selain itu, faktor “investasi jangka panjang” juga menjadi alasan lain timbulnya kontra versi pendapat. Tidak seperti kursus komputer atau Bahasa Inggris yang mempunyai saluran bagus ke muara profesi di kantoran, petualangan dianggap sebagai “kursus”yang buang - buang uang dan waktu berharga saja. Jadi, semacam investasi yang tidak lolos kriteria dalam studi kelayakan bisnis. Setelah merayap di tebing lalu mau kemana? Setelah mengarungi jeram di sungai, lantas mau menjadi apa?
Dua alasan di atas ternyata cukup efektif membunuh minat seseorang yang mulai tertarik atau bahkan telah masuk ke dunia petualangan. Dan jika keduanya dipertemukan dengan faktor potensi bahayanya, tentu semua itu mampu membuat para orang tua tidak mau mengeluarkan izin - apalagi duit - bagi anak - anak mereka untuk pergi ke alam bebas. Resistensi massif dari masyarakat awam pun menjadi seperti saklar listrik, otomatis menyalakan lampu bila dipencet. Tapi betulkah anggapan - anggapan itu?
Di negara - negara lain, kegiatan alam bebas terbukti banyak diadopsi secara efektif pada institusi - institusi pendidikan formil. Keyakinan bahwa terdapat beberapa hal tertentu yang tidak dapat dijawab hanya dengan diktat - diktat tebal di perpustakaan, telah melahirkan ide pola pendidikan berbasis pengalaman ( learning by doing / learning by experience ) sebagai pelengkap yang dapat menjembatani antara teori dan kenyataan. Contoh jelas untuk hal ini dapat disaksikan pada apa yang populer akhir - akhir ini dengan sebutan Out Bound ( Outward Bound ) Training.
Setidaknya, bahwa pendidikan formil bukan satu - satunya jawaban terhadap kebutuhan seseorang pada "persiapan menghadapi kehidupan", telah diamini oleh sebagian pendidik. Kesadaran bahwa sekolah formil terbatas kemampuannya untuk membentuk kepribadian seorang juga telah menjadi kajian serius di antara beberapa pakar - pakar pendidikan.
Tak heran bila di negara - negara maju kegiatan alam bebas menjadi salah satu pilihan untuk itu sejak beberapa puluh tahun lalu. Nama - nama seperti John Dewey, Kurt Hahn, Lord Baden Powell, Willi Unsoeld atau Colin Mortlock menjadi pelopor pada generasi yang berbeda. Beberapa literatur yang mereka tinggalkan banyak dijadikan acuan untuk pengembangan pola pendidikan model seperti ini. Salah satu dapat dilihat pada "The Adventure Alternative".
Buku ini diterbitkan pada tahun 1984 oleh Colin Mortlock dalam upaya untuk menjembatani kesenjangan antara literatur pendakian gunung / petualangan murni dengan literatur pendidikan luar ruangan ( outdoor education ). Mortlock sendiri adalah seorang pendaki gunung dan kayaker.
Meski tidak setenar Chris Bonnington, Peter Boardman atau Doug Scott, tapi Mortlock bisa mentransfer semangat dan kepercayaannya pada kemampuan terdalam manusia untuk belajar dan mengelola tantangan sampai pada batas ekstrim, bahkan kepada siswa pemula. Dalam hal ini, Mortlock mungkin mewakili seorang filosofis pendidikan petualangan di Inggris yang bisa disejajarkan dengan Willi Unsoeld - orang pertama yang mendaki via rute sulit ( West Ridge ) di Everest dan Bapak Pendidikan Berbasis Pengalaman di AS.
Mortlock memaparkan sebuah filosofi pendidikan petualangan yang tumbuh subur dalam energi manusia dan kemungkinan dilepaskan atau disadari hanya ketika terlibat dengan petualangan sejati. Mortlock menganjurkan untuk mengekspos orang sampai pada pengalaman resiko nyata di batas kemampuan orang tersebut, apa pun bentuk petualangan luar ruangan itu, baik di ketinggian, darat, air, maupun di bawah tanah.
Di halaman pembukaan "The Adventure Alternative", Mortlock menceritakan tentang berberapa kelompok remaja yang sempat ditrainingnya dan dapat dengan cepat mempersiapkan mereka untuk secara independen dapat melakukan pengalaman dan ekspedisi petualangan tingkat tinggi.
Tema Mortlock di sini mencontoh tradisi Kurt Hahn ( pendidik asal Jerman ) yang menyatakan bahwa manusia sesungguhnya mempunyai kemampuan lebih dari yang umumnya disadari. Namun akibat nilai - nilai pasca - industri dan gaya hidup dalam masyarakat Barat modern, terdapat bayangan risiko fisik dan bahaya, sehingga lebih sedikit kesempatan bagi orang untuk menemukan kemampuan batin mereka.
Mortlock menambahkan kualifikasi penting pada gambaran sebaliknya yang menjanjikan dari nilai - nilai petualangan. Cakupan inti filosofi dari observasinya selama bertahun - tahun adalah bahwa apa yang disebut petualangan untuk satu orang adalah pekerjaan buang - buang waktu untuk yang lain atau berbahaya bagi orang lain - apa yang menjadi daging bagi seseorang seseorang adalah racun bagi orang lain.
Colin Mortlock |
Jadi, Mortlock menekankan bahwa sifat subjektif dari pengalaman petualangan adalah yang terpenting dan pengalaman subyektif ini berasal dari kombinasi dari tugas fisik objektif ( termasuk kondisi lingkungan ) dan kemampuan orang dan sumber daya pada saat itu.
Dalam pengertian ini, filsafat Mortlock berkaitan erat dengan teori “pengalaman” John Dewey, yang melihat pengalaman sebagai sesuatu yang muncul bersama - sama dari semua akumulasi pengalaman masa lalu dan bagaimana interaksi dengan keadaan sekitarnya misalnya, aktivitas, guru, lingkungan, kelompok dan lain - lain.
Pusat “Filsafat Petualangan” Mortlock menyajikan keberadaan empat dasar "tingkatan petualangan", yang tersusun dari:
Tahap 1: Play: Ditandai dengan sedikit emosi melalui partisipasi yang relatif mudah dalam kegiatan yang berada di bawah tingkat keterampilan seseorang
Tahap 2: Adventure: Ditandai dengan kenikmatan dan kegembiraan, di mana seseorang menggunakan kemampuannya dengan lebih lengkap, tetapi tetap mempertahankan kontrol atas situasi dan dirinya
Tahap 3: Adventure Frontier: Ditandai dengan pengalaman puncak yang muncul dari orang yang mengalami tantangan petualangan yang sangat dekat dengan batas dirinya. Jika orang tersebut berhasil, maka umumnya ia akan memiliki pengalaman puncak. Tapi di sisi lain terdapat resiko nyata yang dapat sangat mendorong ke arah kegagalan atau kondisi fatal yang mengarah ke Tahap 4.
Tahap 4: Misadventure: Ditandai oleh seseorang memilih atau dipaksa untuk berpartisipasi dalam tantangan di luar batas kemampuannya, sehingga dapat mendorongnya ke kondisi emosi yang negatif ( takut, sakit hati, dll ), mungkin cedera dan bahkan akhirnya kematian.
Colin Mortlock adalah seorang inovator yang sukses dalam hal pendidikan. Setelah menjadi guru di Royal Wolverhampton School dan Manchester Grammar School, pada tahun 1965, ia berkarir di "Warden of The Woodlands Outdoor Centre" di South Wales. Pusat sekolah anak - anak dari kota Oxford ini, segera diakui sebagai salah satu pusat pendidikan petualangan terkemuka di Inggris.
Pada tahun 1971, ia ditunjuk menjadi direktur pada "The Centre for Outdoor Education", Charlotte Mason College, Ambleside, di The Lake District. Selama dua puluh tahun berikutnya, pusat pendidikan ini menjadi terkenal baik untuk program gelar, maupun untuk kursus satu tahun "International Adventure" untuk guru - guru berpengalaman.
Colin Mortlock dapat begitu gamblang memaparkan banyak manfaat nyata dari kegiatan petualangan - sebuah hal yang tidak sempat terpikirkan oleh masyarakat awam. Bukunya yang lain, "Beyond Adventure" ( 2001 ) juga mendapat sambutan luar biasa.
Sementara "The Spirit of Adventure" ( 2009 ) telah melengkapi sebuah trilogi yang membawa pesan yang akan beresonasi dengan siswa, guru, pemerhati dan penggiat petualangan atau pemimpin bisnis yang peduli dan ingin membuat perbedaan bagi dunia tempat kita berpijak ini. Ia betul - betul memiliki reputasi internasional sebagai pembicara dan penulis untuk hal penting dari nilai - nilai, potensi dan kontribusi kegiatan petualangan ke dunia yang materialistik.
Jadi, tunggu apa lagi? Ambil ranselmu dan pergilah bertualang! Raihlah pelajaran dari sekolah terbaik di dunia; Alam Bebas.
No comments:
Post a Comment