Catatan Si Bolang

Ilmu pengetahuan itu mahal, tp jika berbagi dengan gratis, sayang sekali bila tidak dimanfaatkan, bukan ?

Thursday, June 27, 2013

Kegiatan Penggiat Alam Bisa Atasi Tawuran Pelajar dan Gank Motor

 Perkelahian pelajar bukan hal baru di dunia pendidikan tanah air tercinta. Korbannya jangan ditanya, dari luka bacok, tikaman di leher sampai terengut nyawanya. Alat perangnya selain batu, rantai sampai clurit dan golok. 

Ironis sekali, sementara biaya pendidikan semakin tinggi, semakin brutal pula mereka berperang.

Sampai kini, tidak sedikit metode pendidikan yang dicoba dikembangkan untuk meredam tabiat galak yang hinggap di kalangan mereka. Mulai dari Pesantren Kilat sampai menyalurkannya ke berbagai kegiatan ekskul yang membuat anak jadi manis dan manja.

Salah satu tujuan pendidikan menurut standar Unesco, selain " Lerning to be, Learning to do, Learning to think" adalah " Learning to live together". Nah disinilah faktor "Keunggulan partisipatorik" dibutuhkan.

Point itu sudah mereka punyai ketimbang "anak manis dan manja" yang cuma tahu dunia kelas, lab atau perpustakaan (individualistik dan egoistik). Masalahnya adalah mereka menyalurkannya menjadi bagian dari "miss adventure"( Collin Mortlock- An Adventure Alternative), dimana akibat ketidak seimbangan jiwa menjadi anti sosial adventure (vandalisme, tawuran, penyalahgunaan narkoba dan geng motor yg kriminal).

Keberadaan organisasi Penggiat Alam (PA) di lingkungan sekolah (Sispala) tak jarang dimotori oleh anak-anak yang bengal, namun sejarah membuktikan bahwa organisasi ini masih berkibar sampai saat ini, karena satu hal: "semangat pantang menyerah!".

Sehingga mempunyai daya survive yang tinggi, karena organisasi ini "tumbuh dari bawah" (bottom-up) bukan indoktrinasi nilai yang kaku buatan pemerintah (top-down). 


Akibatnya tak sedikit kegiatan mereka diluar OSIS dan tidak diakui pihak sekolah, karena "tak mau ambil resiko". Makanya sampai saat ini kegiatan PA masih terkesan "marginal", bahkan Dikdasmen dan Dikti-pun tak mau meliriknya sebagai bagian "pendidikan informal terstruktur".

Padahal Emil Salim pernah berujar saat Gladian Nasional PA-PG VI di pantai Krakal Yogyakarta tahun 80: "Harapan terakhir ujung bangsa yg bisa diandalkan adalah anak2 PA !"

Kenapa? Ada apa dengan anak PA? "Anak PA selalu dipaksa untuk bisa mengerjakan apapun! Hasilnya? "Mereka bisa berada di posisi apa saja!"

Kembali ke laptop!

Upaya metode pendidikan dengan cara konvensional pernah diterapkan di Jakarta saat Pangdam-nya Mayjen AM. Hendopriono, begitu juga saat Mayjen Sutiyoso, "barudak baong" digembleng fisik dan mentalnya dengan dilatih menaati disiplin militer selama 2 minggu.
www.forumhijau.com

Namun, setelah siswa kembali ke sekolah, tawuran pelajar meruyak lagi, dengan para jendralnya alumni Kodam Jaya!

Kemudian Outward Bound Indonesia, sebuah lembaga pelatihan kepemimpinan yang diterapkan di alam bebas, turun tangan dengan mendidik "barudak baong" (diantaranya adalah pelaku kerusuhan Mei '98), di Jatiluhur, Purwakarta.
www.forumhijau.com

Hasilnya? menurut pengakuan Bapak Kepala Sekolah sih "menggembirakan", hanya masalahnya kemudian adalah duit dari mana untuk biaya Rp. 800 ribu setiap orang untuk program selama 9 hari saat kegiatan tahun 1998, apalagi sekarang?

Sementara posisi kita sebagai pegiat alam bebas tentu merasa terpanggil untuk bisa "berperan serta" mengatasi hal ini. Karena point terakhir dari Kode Etik Pecinta Alam (Gladian Nasional IV Ujung Pandang '74) adalah :

" Berusaha saling bantu-membantu serta saling harga menghargai dalam melaksanakan pengabdian kepada Tuhan, Bangsa dan Tanah Air".

Dengan semangat solidaritas yang sudah jadi modal awal, tak ada yang tak bisa kita kerjakan untuk membuat program "Self Discovery" ini terwujud. Tentu dengan biaya yg lebih murah, karena memang bukan program "Profit Oriented"! Dan ceritapun berakhir sampai disini.


sumber : Forum Hijau Indonesia

No comments:

Post a Comment