Untuk apa berlelah - lelah mendaki sebuah gunung lalu turun lagi. Setiap pendaki mempunyai alasan sendiri - sendiri. George F. Mallory yang hilang di Everest tahun 1924 ketika ditanya mengapa mendaki, merasa cukup dengan bilang, “Because it’s there!” Tetapi seorang pendaki hebat semacam Doug Scott bilang waktu itu Mallory kebelet ingin ke WC. Supaya cepat dia bilang demikian!
Jadi pasti ada alasannya. Dan seperti taburan bintang di langit, begitu gambaran betapa sering filosofi lahir dari ketinggian lereng dan puncak gunung. Tempat yang terasing, sepi, dingin, dan angin memukul seperti palu di mana setiap bahaya harus dihadapi pendaki itu sendiri.
“Filosofinya selalu berkembang. Seiring bertambahnya umur serta pengalaman, pandangan seseorang tentang mendaki gunung akan terus berubah,” kata Pat, “dan penting sekali buat seorang pendaki untuk sadar bahwa ada gunung yang tak bisa didakinya.”
Setelah bertahun - tahun, kini Pat Morrow bersikap lebih realistis. Sebagai orang yang mencari nafkah dengan memotret di gunung, menurutnya kegiatan ini sebuah usaha menggabungkan kerja dengan kesenangan. “Buat saya mendaki sebanyak - banyaknya penting untuk ditulis. Kedua hal itu sama menariknya. Kalau saya tidak bisa mendaki, selesai sudah. Saya tidak bisa menulis, maka berarti saya tidak bisa mengongkosi perjalanan berikut,” katanya. Kalaupun ada tujuan sampingan, ya untuk “lari” sejenak dari tekanan stress dan peradaban modern. Di gunung seseorang akan kembali merasa menjadi “manusia”.
Selain itu Pat juga menikmati nuansa petualangannya. Sebaliknya dengan blak - blakan dia menolak mentah - mentah bila mendaki gunung jadi ajang mencari kejayaan atau saling berkompetisi. “Mereka tidak belajar apa - apa dari pendakiannya sendiri,” sindir Pat kepada pendaki yang cuma menganggap naik gunung sebagai aktivitas fisik belaka atau lebih parah lagi, sebagai upaya penaklukkan terhadap alam.
Pat Morrow |
Toh dia menyebut nama Jerzy Kukuczka sebagai contoh. Jerzy adalah pendaki hebat asalPolandia. Orang kedua yang merampungkan grandslam 14 puncak 8000 - an meter diHimalaya. Meskipun selalu mencari - cari gunung atau jalur pendakian yang lebih sulit dari yang pernah didakinya, menurut Pat, Jerzy bukan pendaki yang hanya mengejar prestasi dan nama besar. “Saya kenal dia. Kami pernah bertemu di Inggris dan saya mengerti alasan - alasannya.He’s a climbing bum. A real climber,” komentar Pat tentang pendaki yang tahun 1989 akhirnya menemui ajal terkubur avalanche ( longsoran salju ) di salah satu dari tiga jalur yang konon tersulit di dunia, yaitu dinding selatan Lhotse.
“Mereka orang - orang yang mempunyai komitmen untuk terus mendaki dan menjadikannya gaya hidup,” ulang Pat. Barangkali bisa disetarakan dengan seorang Bobby Robson atauBeckenbauer yang saking cintanya pada olahraga sepak bola sampai bilang, “Saya ini hidup dari dan untuk sepak bola.” Atau mereka - mereka yang akrab dengan sarung tinju dan sansak di sasana yang suka berteriak, “Tinju adalah darah daging saya!”
Lebih jauh Pat menyebut contoh lagi yaitu Peter Croft. Pemanjat Kanada yang menetap di AS itu menurut Pat sepanjang tahun kerjanya manjat melulu. Pola hidupnya sederhana, malah bisa dibilang irit. Pengeluaran paling untuk makan dan tempat tinggal. Selebihnya? Untuk ongkos mendaki! “Orang - orang macam dia itu mendaki gunung, manjat tebing, atau main ski hanya untuk menikmati. Bukan untuk tujuan lain, apalagi uang. Really. Justru uang mereka habis di situ. Untuk mendaki ke berbagai tempat ‘kan butuh uang. Kadang mereka kerja part time selama 3 - 4 bulan. Kerja apa tak jadi soal, asal halal. Kalau uang dirasa cukup langsung berkemas - kemas lalu mendaki lagi sepanjang sisa tahun,” kata Pat.
Pat beruntung profesi fotografer berhubungan langsung dengan kesenangan mendaki. Waktu ke Jepang itu, dia mendapat penugasan dari majalah. “Sayangnya, satu majalah saja tak mampu menutup biaya perjalanan yang cukup mahal. Karena itu selesai menulis untuk Equinox, saya juga menjual tulisan serupa ke majalah-majalah luar negeri atau ke penerbitan yang biasa menerbitkan buku panduan travel. Dari situ uangnya kami pakai beli tiket pesawat untuk perjalanan berikut.” Kalau masih belum cukup juga, maka dia berusaha menggaet sponsor. Yang paling sering maskapai penerbangan Air Canada.
Pat Morrow |
Sebagai ilustrasi, di Jepang Pat dimodali sponsor dari ujung kepala sampai ujung kaki misalnya oleh Adidas, Sierra Design, Kelty — produsen pakaian dan alat pendakian. Penginapan pun dibantu surat sakti dari Yama - kei, penerbit majalah pendakian terkemuka negeri sakura itu. Atau lebih gila lagi, sampai ke soal makanan pun dari sponsor!
Dengan daftar pendakian begitu panjang, harap maklum kalau Pat memiliki banyak teman di berbagai negara. Kalau berniat mendaki di sebuah negara, dia menghubungi temannya yang tinggal di sana. Kemudian sering dia menginap di rumah sang teman, makan di situ dan ditemani ke gunung yang dituju. Sebaliknya kalau teman - temannya mengunjunginya di Kanada, mereka juga diperlakukan serupa. “Ini alasan lain kenapa saya pakai istilah climbing bum.
Mereka punya teman di seluruh dunia yang bisa membantu mereka pergi ke sebuah gunung. Di kota kecil tempat tinggal kami saja paling tidak ada 50 - an pendaki terdiri dari professional guide dan climbing bum. Sosialisasinya menyenangkan. Dan Anda tahu hampir di setiap kota sekarang ini ada pendaki gunung atau orang yang suka pergi ke alam terbuka. Kita seperti punya teman di mana saja,” ujarnya.
Istilah “climbing bum” itu sendiri muncul ketika di tahun 1995 Pat, Baiba sang istri, dan teman - teman, mendaki 21 gunung di atas 3000 - an meter di barisan pegunungan Japan Alpstermasuk Fuji - san. Mereka menyeberangi Pulau Honsyu dari Laut Jepang sampai Laut Pasifik sambil mendaki maraton. Ketika itu di sela pendakian, dia mengatakan bahwa orang - orang seperti dirinya yang hidup seolah hanya untuk mendaki adalah climbing bum. Kalau diterjemahkan, bum kira - kira berarti “orang miskin yang bertualang”. Jadi gampangnyaclimbing bum diartikan gembel gunung.
Di tahun 1986 bersamaan dengan EXPO di Vancouver, Pat menemani alm. Norman Edwin, Adi Seno, dan Titus Pramono, teman - teman Indonesia - nya untuk mendaki Bugaboo Spire diCanadian Rockies. Begitu juga terhadap Ang Nima Sherpa yang membantunya dalam dua ekspedisi Everest. Persahabatan yang lahir dari atas gunung biasanya memang sudah teruji.
Soal pilihan antara mau terus mendaki atau hidup normal seperti kebanyakan orang, menurut Pat, kultur di Indonesia, Kanada atau di mana pun sama saja. “Kita selalu diharapkan oleh keluarga atau masyarakat untuk hidup normal. Masuk universitas, cari kerja, berkeluarga, dan sebagainya. Dulu ayah saya memang tak pernah bilang tidak, tapi saya tahu dia lebih suka saya hidup seperti orang lain.”
Sulit diterima akal sehat kalau ingin terus mendaki atau bertualang di alam terbuka tanpa khawatir rezeki seret. Apalagi untuk hidup dari situ! Bedanya, di Eropa atau Amerikakecenderungan orang mencari nuansa kebebasan terasa lebih kuat. Salah satu caranya denganmendaki gunung. Walaupun demikian, komitmen untuk hidup dari dan untuk mendaki boleh jadi hanya dimiliki para gembel gunung ini.
“Itu memang pilihan yang berani dan butuh kerja keras, tapi nyatanya banyak kok yang lebih gila dari saya,” katanya. Pun, Chris Bonington, pendaki, penulis buku, fotografer, sekaligus pemimpin ekspedisi terkenal asal Inggris, pernah melepas kesempatan jadi pelatih manajemen di perusahaan multinasional Unilever. Dia menyatakan, “I choose to climb!”
Pat tidak menutup mata dengan kenyataan cuma segelintir orang jadi kaya karena mendaki. Kalau orang kaya senang mendaki sih banyak. Kalaupun ada yang hidup makmur hasil mendaki, salah satu yang layak disebut adalah Reinhold Messner. Pendaki asal Tyrol, Italia selatan itu prestasinya selangit: orang pertama mendaki The all 14 - eight thousanders atau 14 gunung di atas 8000 meter, mendaki Everet tanpa tabung oksigen, bahkan sekali secara solo.
Messner yang juga membuka banyak jalur sulit di berbagai gunung ini pernah jadi model iklan jam tangan Rolex dan disponsori Fila — produsen pakaian olahraga. Kabarnya dia juga punya sebuah puri di Italia. Orang ini, kata Pat, enteng saja merogoh kocek membeli sebuah rumah seharga 200 ribu dolar untuk putrinya yang tinggal dekat Canmore, kota tempat tinggal Pat danBaiba di Kanada.
No comments:
Post a Comment