Lawu, Property Belantara Indonesia |
Bagi seorang pendaki gunung, mendaki gunung bukanlah menaklukkan gunung itu, tapi menaklukkan kelemahan diri. Tidak heran jika pendekar - pendekar jaman dulu pun sering menempa ilmu beladiri dan kerohanian mereka di gunung - gunung, hutan, maupun lembah yang masih sangat liar.
Ketika kita telah memutuskan untuk mendaki gunung, artinya kita siap menghadapi rasa sakit yang hampir pasti akan kita rasakan. Perjalanan yang jauh akan menempa fisik menjadi lebih kuat dari sebelumnya, paru - paru akan terlatih untuk memaksimalkan kemampuannya memanfaatkan oksigen yang semakin tipis diketinggian.
Selain itu, dunia pendakian akan melatih mental dan jiwa yang tahan uji. Kelaparan, kelelahan, ketakutan, pengalaman sangat dekat dengan maut, menjadikan mereka yang lolos dari ujian ini menjadi pribadi yang berbeda.
Dunia pendakian memang tidak menjanjikan kita menjadi pribadi yang lebih baik. Dunia pendakian hanya menjanjikan kita menjadi pribadi yang berbeda. Apakah menjadi baik atau buruk, itu adalah pilihan kita dalam menghadapi ujian.
Seperti kisah - kisah dalam buku silat anak - anak SD, seringkali pendekar dan penjahat mendapatkan kesaktiannya dengan bersemadi di tempat yang sama. Namun dalam bersemadi itu, pendekar melewati ujian dengan cara yang berbeda dengan cara penjahat melewati ujian.
Sebagian orang mungkin menganggap aneh atau mencibir pendaki gunung. Anggapan dan cibiran ini kadang memang disebabkan oleh pribadi pendaki gunung sendiri. Sebagian dari mereka menjadikan kegiatan mendaki gunung merupakan cara untuk lari dari masalah. Sebagian lagi menjadikannya sarana pembuktian dan kesombongan. Sebagian lagi bahkan ada yang menjadikannya seperti candu. Pandangan - pandangan ini memang tidak sepenuhnya salah, namun perlu sedikit diluruskan.
Ada juga pendaki kadang mendaki gunung saat menghadapi masalah yang cukup berat. Bukan untuk lari dari masalah itu, namun untuk me - recharge semangat dan kesiapan mental untuk kembali menghadapi masalah yang menunggu di peradaban.
Mendaki gunung akan menempa mental kita untuk menjadi pribadi yang berani mengambil keputusan di saat yang sulit, dan siap menanggung setiap resiko yang telah diperhitungkan.
Ketika dalam sebuah pendakian di gunung - gunung yang tinggi dan cukup sulit kita mampu meraih puncaknya dengan selamat, tak bisa dipungkiri kita akan merasakan sebuah euforia sebagai orang yang berhasil melewati rintangan.
Namun, semestinya rasa itu kita tekan agar tidak memercik menjadi sebuah kesombongan. Saat kita berada dipuncak dan melihat pemandangan dibawah yang begitu luas terhampar, sudah semestinya menjadikan kita tertunduk pada keagungan Pencipta alam semesta beserta isinya ini.
Seandainya kita berhasil meredupkan kesombongan dan menutupnya dengan rasa takluk di hadapan-Nya, diharapkan kita bisa menjadi pribadi yang tidak rendah diri, namun juga tidak tinggi hati.
Ada seorang psikolog yang memandang pendakian gunung adalah hobi bagi mereka yang kecanduan dengan rasa sakit dan ketakutan. Tentu, pandangan ini sepenuhnya salah. Bagi yang sudah mampu merasakan nikmatnya mendaki gunung, seringkali sensasi yang kita rasakan ketika di alam bebas menjadikan kita merasakan kerinduan ketika sudah lama tidak merasakannya.
Seakan kita lupa betapa beratnya ransel yang harus kita panggul, betapa perihnya goresan duri, kerikil dan gigitan pacet. Seolah kita tidak tahu rasa lelah yang akan kita rasakan nanti. Namun jangan sampai hal ini menjadi candu yang kadang menjadikan kita lupa tanggung jawab kita sebagai manusia.
Bagi anda yang belum pernah mengenal dunia pendakian, jangan pernah mencibir seorang pendaki gunung. Memang banyak pendaki yang akhirnya hidupnya luntang - lantung tidak jelas. Namun mereka tidak mencerminkan pendaki gunung seluruhnya karena sangat banyak pendaki yang menjadi orang - orang hebat dan bermanfaat.
Bagi anda yang baru tertarik dan mencoba mengenal dunia pendakian, selamat datang di dunia para pendekar dan cobalah menjadi pribadi yang berbeda.
No comments:
Post a Comment