“Ayo Ke Semeru, sekali-sekali menjadi
orang tertinggi di Pulau Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di Pulau
Jawa ini.”
Tahun 1969, kalimat itulah yang diucapkan Soe Hok Gie kepada
kawan-kawannya agar mereka juga ikut mendaki Gunung Semeru. Gunung ini memang
titik tertinggi di Pulau Jawa, titik yang sering diburu mereka yang menyukai
angin dingin dan kabut pegunungan. Sebagian mungkin memang ingin membuktikan
kehebatannya dalam menaklukan, mereka yang menganggap penaklukan adalah tujuan
tertinggi dalam petualangan. Tentu saja itu adalah kebanggaan purba, sebab alam
tidak bisa ditaklukkan dan kita hanya bisa mengikuti alirannya. Orang seperti
Soe Hok Gie, dan pendaki-pendaki yang mawas diri justru mengambil pelajaran
bahwa di gunung, ditengah desir angin dingin dan kaki yang lelah melangkah,
manusia justru tak punya daya untuk menaklukkan. Mereka tak akan jumawa. Mereka
hanya akan menerima apapun yang diberikan Tuhan. Hujan, rumput basah, buah
cemara yang jatuh di tanah. Mereka hanya akan mengambil kenangannya. Begitulah
pendaki gunung seharusnya, begitulah pencinta alam semestinya.
Tahun 1838 Clignet menjadi orang pertama yang mendaki Gunung
Semeru. Tentu saja itu yang tercatat dalam sejarah, karena besar kemungkinan
sudah ada yang duluan mencapai puncaknya sebelum pria berkewarganegaraan
Belanda tersebut. Siapa pula Clignet? Kita tidak pernah tahu, kecuali bahwa
dialah yang dianggap pertamakali mencapai puncak. Orang-orang justru lebih
mengenal Soe Hok Gie (dan Franz Wilhelm Junghuhn, bagi sebagian orang) karena
legendanya. Pendaki gunung mana yang tak mengenal sosok Soe Hok Gie? Si Cina
Kecil ini telah lama menjadi panutan para pendaki. Puisinya dipajang, dikutip,
diberikan kepada pacar, dijadikan penyemangat. Tak pernah ada pendaki gunung
Indonesia yang memiliki karisma sebesar Gie. Walau kenyataannya, Gie hanya
mendaki beberapa gunung, tapi sifatnya yang teguh dan cinta kepada keberanian
hidup membuatnya jadi orang yang paling dikenang. Tanyakan kepada para pendaki,
siapa orang terkenal yang paling mereka ingat yang pernah mendaki Gunung
Semeru. Mungkin 8 dari 10 orang akan menjawab Soe Hok Gie. Tentu saja Indonesia
punya legenda yang lain, Norman Edwin si Beruang Gunung. Kebetulan keduanya
berasal dari organisasi yang sama, Mapala UI. Hanya saja, Hok Gie lebih
dikenang karena dia adalah martir zamannya, ketika pemuda turun ke jalan
menentang penguasa dan mereka merebut kemenangan dengan tumbangnya Soekarno. Di
zaman bermunculan hipokrit dari kampus, Gie tetap kukuh dalam pendirian, dan
dia memetik buahnya. Dia kesepian. Teman-teman aktivis mulai menjauhinya karena
menganggap Gie terlalu keras. Jadi, kemana lagikah dia bisa menemukan teman
yang sebenarnya?
Ke gunung.
“Di gunung kita akan menguji diri dengan
hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang
itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat
dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga
sehat. “
Di gunung Gie menemukan kedamaian, jauh dari
hingar bingar politik saat itu. Sering teman-temannya melihat Gie melamun
sambil mendekap kedua lutut didadanya, memandang hamparan bunga gunung yang
menyejukkan mata. Di Lembah Mandalawangi, ditengah udara dingin Gunung
Pangrango, puisinya tercipta. Puisi yang dikemudian hari dikutip para pendaki,
petualang, dan bahkan nona-nona di kota yang belum pernah melihat Mandalawangi
sekalipun. Hanya saja, bukan di lembah yang dicintainya itu kedamaian
menjemputnya, melainkan di Semeru, di puncak persemayaman dewa Siwa, di puncak
tertinggi pulau Jawa. Ditengah-tengah mahasiswanya yang sama-sama pendaki
gunung, Gie si dosen sejarah UI mengeluarkan nafasnya yang terakhir. Dalam
sayup lagu Nobody
Knows yang mengambang
di udara malam sebelumnya, Idhan Dhanvantari Lubis, si pemuda pendiam teman
seperjalanan Hok Gie juga turut serta mendampinginya. Dalam diam, dalam lekuk
liku lereng-lereng puncak surga.
Bukan hanya Soe Hok Gie dan Idhan Dhanvantari Lubis, ada 26
orang lagi yang bertakdir sama, tewas di gunung Semeru. Tapi Semeru tidak hanya
menyimpan cerita kematian, cerita kehidupan juga punya tempat disini. Pendaki
silih berganti mengambil tempat di Ranu Kumbolo, di danau tenang yang menyimpan
cahaya matahari di balik bukit. Pagi pertama pendaki di Ranu Kumbolo adalah
pagi yang tak mungkin lenyap dari ingatan. Kabut bergulung di air danau,
menyongsong mereka yang duduk bersama kawan mencari hangat sambil minum kopi
dari gelas yang sama. Pemancing dadakan berjajar di tubir danau, mengail rezeki
makan siang dari wader-wader yang hilir mudik di pinggiran. Cahaya merona
perlahan, seperti warna pipi gadis yang tersipu malu. Kehidupan hadir dihati
pendaki dengan cara yang sangat menyenangkan. Kabut dingin, semburat merah
diujung timur, cahaya matahari yang berpendar.
Sahibul hikayat, letak Gunung Semeru
pertamakali ada diujung barat Jawa. Dewa Wisnu dan Brahma yang meletakkannya
agar Jawa yang selalu bergerak dan terguncang bisa diam terpaku. Jauh dari
India diterbangkan Gunung Meru, yang berubah nama menjadi Semeru ketika
terpancang di tanah Jawa. Tersebab bukannya pulau Jawa jadi stabil malahan
bagian timur jadi terangkat, Wisnu dan Brahma mengangkatnya kembali dan
menerbangkannya ke timur. Diatas punggung Wisnu yang menjelma kura-kura
raksasa, sebagian gunung Meru jatuh membentuk Gunung Gede, Slamet, Sundoro,
Merapi, Lawu, dan Welirang. Diantara Kelud dan Argopuro Wisnu menurunkan Gunung
Meru dari punggungnya. Masih juga masalah belum selesai, karena ujung lain Jawa
yang kini menjadi miring. Maka, dengan kekuatan dewa-dewa, sebagian Gunung Meru
dipotong dan diletakkan di barat laut, dan kemudian dikenal sebagai Gunung
Penanggungan. Tentu saja semua cerita itu tak ada dalam kitab geologi buatan
manusia, melainkan hanya di kitab Tantu
Pagelaran dari abad
ke-15.
Menurut kitab geologi manusia, Semeru adalah
gunung api jenis Stratovolcano,
yang terjadi karena lipatan lempeng. Bersuhu 0-21 derajat Celcius, suhu yang
dicari pendaki yang akrab dengan udara dingin. Semasa hidupnya, Junghuhn,
naturalis anggota Natuurkundige
Commissie Batavia, pernah mendaki dan meneliti Semeru di tahun
1945. Mungkin dalam catatannya tersebut macan kumbang, luwak, kijang, kancil,
monyet, belibis, cemara, akasia, pinus, edelweis, alang-alang, kirinyuh,
tembelekan, semua binatang dan tumbuhan yang hidup pada masa itu. Sayang
sekali, sekarang susah menemukan belibis bermain air di Ranu Kumbolo, dan
kijang yang cantik itu, entah sekarang berada dimana.
Di Oro-Oro Ombo, bunga-bunga bermekaran seperti padang lavender.
Ungu yang memanjakan mata, di sela ilalang yang tumbuh tinggi. Disinilah
perhentian berikutnya bagi mereka yang menyukai keindahan. Di kiri kanan
bukit-bukit mengapit padang rumput dengan gagah. Diujungnya, menanti barisan
pohon pinus bernama Cemoro Kandang. Teruskan melangkah, padang rumput luas
menanti dipinggiran hutan pinus. Tentu saja bagi Hok Gie yang anak Jakarta itu,
suasana seperti ini adalah pelarian yang tepat dari ruwetnya Jakarta tahun
60-an. Dan Arcopodo itu, arca kembar yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang
beruntung, menanti dengan diam para pendaki yang berjalan pelan menuju puncak
para dewa, Mahameru. Syiwa, yang bersemayam disana, diubun-ubun Jonggring
Saloko, menyambut para pendaki yang tertatih melewati alur-alur pasir yang
labil. Dewa-dewa itu, mereka membuat tangga surga dengan pasir labil agar kita
mengerti, segala kesusahan akan berkurang jika kita menerimanya dengan ikhlas,
dan dibalik keikhlasan tersebut ada keteguhan hati untuk tetap mengatasinya.
Berjalan tiga langkah dan mundur dua langkah, kembali berjalan tiga langkah dan
mundur lagi dua langkah, itulah ikhlas dan itulah keteguhan. Diujungnya,
dilangkah terakhir menuju puncak, tidak ada rasa lain selain bahagia yang
membuncah. Dan kitapun tahu mengapa Soe Hok Gie, Idhan Dhanvantari Lubis,
Soebijanto, Wahju Prihastono, Daris, Andika Listyono Putra, dan 22 pendaki lain
rela hidupnya berakhir di Gunung Semeru.
No comments:
Post a Comment